Jumat, 18 Agustus 2023

SEBERAPA PENTING MEMILIKI PERPUSTAAN KELUARGA?

 

Setahu saya, perpustakaan dalam sejarah manusia selalu dipandang sebagai barang mewah. Saking mewahnya tempat itu menjadi wilayah keramat yang tidak boleh disentuh oleh sembarang orang. Seakan membutuhkan ritual khusus untuk menjamahnya. Maka jadilah perpustakaan sama sepinya dengan kuburan. Angkernya juga sama, terlebih lagi dalam sebuah komunitas masyarakat yang tidak menghargai literasi.

Baca juga: Apa itu Literasi Digital?

Dalam sejarah, memang pernah ada masanya, perpustakaan menjadi tempat nongkrong yang asyik. Diskusi ilmiah menjadi budaya. Penulis diberi tempat yang terhormat. Para penyalin buku mendapatkan bayaran yang fantastis atas jasa-jasanya. Dan buku menjadi barang berharga dalam makna yang sebenarnya. Konon katanya, harga sebuah buku setimbangan emas. Jika berat buku 100 gram, maka ia akan dibayar dengan emas seberat 100 gram juga. Pada era kejayaan Islam, kekhalifahan Bani Abbasiyah pernah memiliki perpustakaan besar yang sangat terkenal bahkan hingga kini, Baitul Hikmah yang secara bahasa berarti rumah kebijaksanaan.

Namun naifnya, perpustakaan, terutama perpustakaan pribadi selama ini oleh orang-orang sekitar seakan haruslah merepresentasikan intelektualitas pemilikinya. Artinya, buku yang berjejer rapi di perpustakaan pribadi tadi harus dibaca, dipahami, dan mungkin juga diamalkan petuah-petuahnya oleh pemiliknya sendiri. Titik. Karena hanya dengan cara itulah intelektualitas dapat dipupuk.

Tuntutan semacam itu, terutama dalam hemat saya, terlalu berlebihan dan sangat membebani. Buku tetap saja buku. Setiap orang punya alasan sendiri-sendiri untuk mengoleksi buku. Bisa dengan niatan untuk diwariskan kepada anak cucu, dipajang di ruang keluarga atau mungkin untuk mempercantik ruang tamu. Atau mungkin yang paling sarkas, ikut serta membantu penulis dan penerbit buku agar tetap hidup di era disrupsi digital ini.

Pernyataan ini jika tidak dipahami dengan baik sangat mungkin menimbulkan kesalahpahaman. Sebab, secara zhahir terlihat ada kontradiksi antara ide bahwa perpustakaan yang sepi dengan keharusan memiliki perpustakaan meski tidak dibaca. Asumsi saya jelas, buku yang dibeli meski mungkin tidak dibaca habis, lebih dari cukup untuk menggabarkan orang tersebut cinta literasi. Sekiranya orang tersebut tidak punya budaya literasi yang kuat, mustahil rasanya ia kepikiran membeli buku, baik untuk diri sendiri terlebih lagi untuk orang lain.

Baca juga: Jejak Literasi di Indonesia

Kembali ke tema pokok pembicaraan, seberapa penting memiliki perpustakaan keluarga?

Dari urain ringkas di atas, sedikit banyak pertanyaan itu sudah terjawab. Perpustakaan itu penting. Buku itu penting. Membaca buku itu penting.

Pada Bagian Satu, halaman 1 di bawah judul Umberto Eco’s Antilibrary, Nassim Nicholas Taleb dalam buku The Black Swan menceritakan salah seorang tokoh penting dunia, Umberto Eco, yang memiliki koleksi buku pribadi hingga 30.000 judul.

Eco, kata Taleb, membagi pengunjung perpustakaan pribadinya menjadi dua kelompok, yakni satu kelompok yang bereaksi dengan berujar, “Wow! Signore professore dottore Eco,” yang kurang lebih maksudnya “hebat sekali perpustakaan yang Anda miliki! Berapa banyak di antara buku ini yang telah Anda baca?”

Sementara kelompok kedua adalah sekelompok orang, yang sayangnya jumlahnya sangat sedikit, yang sangat paham bahwa sebuah perpustakaan pribadi bukan aksesoris pelengkap untuk menaikkan suatu gengsi pemiliknya, melainkan instrumen untuk melakukan penelitian. Maka dalam hal ini, Taleb menekankan satu hal yang saya pribadi terpaksa sepakati bahwa “Buku-buku yang telah dibaca memiliki nilai yang jauh lebih rendah daripada buku-buku yang belum dibaca.” Pernyataan ini sebenarnya mengarah pada himbauan bahwa perpustakaan haruslah berisi sebanyak mungkin yang tidak kita ketahui sama seperti informasi mengenai keuangan, yang tidak harus kita kuasai seluruhnya, namun dapat kita ketahui saat diperlukan. Sekumpulan buku yang belum dibaca atau bahkan yang sama sekali tidak dibaca ini, oleh Taleb disebut sebagai antilibrary.

Nah, inilah biang masalahnya, kita cenderung memperlakukan pengetahuan kita sebagai hak milik pribadi yang harus selalu dilindungi dan dipertahankan walau bagaimana pun caranya. Pengetahuan ini seakan harus selalu mendiami wilayah otak-memori kita yang abstrak. Tidak boleh bocor. Tidak boleh merembes. Kita jadikan ia sangat ekslusif dalam makna yang negatif. Pengetahuan tak ubahnya seperti ornamen statis yang memungkinkan kita naik status ke posisi yang lebih terhormat. Yang semuanya adalah semu adanya.

Kita perlu mendesain diri kita sebagai antischolar, yakni sosok yang berkonsentrasi pada buku-buku yang belum dibaca sekaligus berusaha memperlakukan pengetahuan bukan sebagai harta karun pribadi atau hak milik pribadi yang ekslusif, atau bahkan sesuatu yang dipandang dapat meningkatkan harga diri.

Ilmu pengetahuan harus dibagiajarkan secara proaktif. Karenanya dalam agama kita mengenal satu ajaran yang sangat elegan tiada tara yang memungkinkan ilmu terus lestari, bahwa diriwayatkan,

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa ditanya tentang suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka akan diberikan untuknya di hari kiamat sebuah penutup mulut dari api neraka.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, dan al-Hakim).

Share:

0 comments:

Posting Komentar

neracabuku.blogspot.com