Kamis, 03 Agustus 2023

FILOSOFI TERAS


Deskripsi Buku

Buku berkategori self improvement setebal 326 (xxviii+298) halaman ini ditulis oleh Henry Manampiring, seorang praktisi periklanan dan Levina Lesmana sebagai ilustratornya. Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Buku Kompas pada tahun 2018, satu tahun sebelum Covid-19 melanda dunia. Buku full color ini masuk dalam jajaran buku Mega Best Seller di toko buku jaringan Gramedia. Terpilih sebagai Book of the Year pada Pameran Buku Internasional Indonesia setahun setelah terbit. Hingga Juli 2023, buku yang dibandrol dengan harga Rp 98.000 ini telah naik cetak sebanyak 50 kali dan terjual lebih dari 300.000 eksemplar. Secara keseluruhan, buku ini terdiri dari 13 bab dengan satu bab tambahan sejak cetakan ke-25 yang diletakkan pada bagian akhir yang diberi judul Catatan Pandemi. Kata pengantar sendiri diberikan oleh Dr. A. Setyo Wibowo, salah seorang Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

 

Profil Penulis

Henry Manampiring bukanlah seorang penulis buku dengan karya berderet yang best seller. Pada awalnya dia lebih dikenal sebagai seorang praktisi periklanan, khususnya pada bidang strategi merek dan komunikasi, daripada seorang penulis buku. Terbukti lebih dari dua puluh tahun ia berkarir di bidang ini. Ia tercatat pernah bekerja pada berbagai perusahaan dan biro iklan multinasional kawakan, sebut misalnya Coca Cola Indonesia, Leo Burnett, Facebook, dan Ogilvy.

Henry meraih gelar Sarjana Ekonomi Akuntansi pada Universitas Padjadjaran Bandung. Setelahnya ia melanjutkan studi dengan mengambil program Master of Business Administration pada Melbourne Business School, University of Melbourne, Australia.

Sebelum Filosofi Teras meluncur meramaikan pasaraya perbukuan nasional, Henry telah menulis empat buku: 7 Kebiasaan Orang yang Nyebelin Banget; Cinta Tidak Harus Mati; The Alpha Girl’s Guide; dan The Alpha Girl’s Playbook. Berkat Filosofi Teras, belakangan buku The Alpha Girl’s Guide-nya ikut terdongkrak jadi buku laris di jaringan toko Buku Gramedia. Pada September 2022 ia menerbitkan Hitam 2045, novel pertamanya. Di platform  Twitter, per 3 Agustus 2023, akunnya telah diikuti oleh 179.711 pengikut.

 

Mengapa Buku Ini Ditulis?

Henry Manampiring, Penulis buku ini sangat jujur mengakui bahwa dirinya pernah mengidap penyakit mental yang disebut major depressive disorder. Meski terdengar mentereng, arti dari penyakit mental dan medis ini tidak jauh dari kata stres atau depresi berat. Penyakit mental ini seringkali membawanya pada kondisi murung yang tidak dapat dijelaskan asal muasalnya. Ia kerap dihantui rasa sedih bercampur negative thinking. Saat dihadapkan pada suatu kondisi, ia selalu berpikir skenario buruknya dulu. Puncaknya, pada pertengahan 2017, kecemasan ekstrim, pikiran buruk, ditambah kehilangan gairah menjalani hidup semakin membelenggu dirinya. Kondisi ini semakin problematis karena hal itu mulai mempengaruhi orang-orang dekat di sekitarnya.

Setelah didiagnosa positif mengidap major depressive disorder, ia akhirnya menjalani serangkaian terapi obat-obatan. Untuk seminggu dua minggu terapi itu membuahkan hasil. Lambat laun mood-nya membaik. Pikirannya sedikit banyak terbuka. Pada saat bersamaan, ia mulai menyadari bahwa masalah kesehatan mental sebenarnya bisa dipengaruhi oleh gangguan kimiawi di dalam otak. Dan obat-obatan modern dapat membantu. Namun di sisi lain, ia juga tidak ingin secara terus menerus mengkonsumi berbagai obat-obatan itu. Nalurinya ingin bebas dari segala bentuk kecanduan itu. Ia berusaha mencari berbagai solusi alternatif yang lebih aman dan sesuai dengan keinginannya.

Maka dalam proses selanjutnya, yang tidak pernah disangka sebelumnya, jalan hidup membawanya ke sebuah alternatif solusi yang lebih baik, yang dapat membantu dirirnya memperoleh ketenangan yang lebih baik dibanding terapi obat-obatan yang ia jalani selama ini. Ia berkenalan secara tidak sengaja dengan Stoisisme, sebuah filosofi purba yang konon berusia 2.300 tahun.

Cerita awalnya mirip dengan kisah Zeno, sang filsuf Cynic. Suatu ketika Penulis buku ini tanpa segaja masuk ke sebuah toko buku. Pada jejeran buku terbaru, ia menjumpai buku How to Be a Stoic karya Massimo Pigliucci. Ia seperti menemukan mutiara tak ternilai.

Setelah membaca buku Pigliucci tersebut, mata hatinya terbuka dan ia serasa menemukan sebuah terapi obat alternatif yang dapat dipraktikkan sepanjang hidup. Ini karena jenis filosofi tersebut sangat membantu membentuk ketenangan, kedamaian, dan pada saat bersamaan menjadikan seseorang tidak mudah stres dan marah-marah yang tidak pada tempatnya. Efek mempraktikkan Stoisisme ini sangat membantu Penulis. Bahkan, seperti diutarakannya, ia bisa menghentikan terapi obat-obatan yang diberikan oleh Psikiater lebih awal dari yang seharusnya.

Jadi, buku ini telah melewati masa uji coba (trial and error) oleh Penulisnya sendiri yang terbukti  ampuh. Ia berhasil melewati masa-masa kritis. Dan melalui buku ini, Penulis berharap dapat membantu siapa saja guna memperoleh hidup yang lebih tenang. Sangat cocok bagi mereka yang kerap merasa khawatir akan hidup yang dijalaninya, atau bahkan sering merasa resah gelisah dan kecewa dalam pergaulan hidup sehari-hari.

Filosofi Teras jelas tidak menjanjikan yang muluk-muluk, misal agar kesulitan dan berbagai tantangan hidup teratasi dengan mudah. Buku ini justru menawarkan cara-cara praktis untuk terus mengembangkan sikap mental yang lebih tangguh agar dapat tetap menjaga ketenangan dalam menghadapi berbagai ujian hidup.

 

Mengapa Filosofi Teras?

Ketika melihat buku Filosofi Teras untuk pertama kalinya di sebuh toko buku ternama beberapa tahun yang silam, saya langsung dihantui pertanyaan, apa itu filosofi teras? Apakah filosofi teras jenis filsafat baru?

Pada halaman 19-27, Penulis menjelaskan asal muasal penggunaan istilah filosofi teras dan sejarah ringkas filsafat Yunani-Romawi kuno itu. Rupanya term teras adalah terjemahan dari kata stoa dalam bahasa Yunani. Karenanya aliran filsafat ini juga kerap disebut filsafat stoa.

Diceritakan, sekira 300 sebelum masehi seorang pedagang kaya raya yang berasal dari Siprus bernama Zeno melakukan perjalanan niaga dari Phoenicia menuju Peiraeus dengan menumpangi kapal laut mengarungi laut Mediterania. Ia membawa barang dagangan berupa pewarna tekstil berwarna ungu yang kala itu sangat mahal harganya, sebuah komoditas khas Phoenicia yang lazim digunakan sebagai bahan pewarna jubah para raja.

Untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak, kapal laut yang ditumpangi Zeno karam. Barang dagangannya ikut lenyap. Ia sendiri harus terdampar di Athena, sebuah kota yang sangat asing baginya. Dalam suasana luntang-lantung itu, ia secara tidak sengaja mengunjungi sebuah toko buku, di mana ia menemukan sebuah buku bergenre filsafat yang berhasil menarik perhatiannya. Bertanyalah ia kepada pemilik toko buku, kira-kira di mana ia bisa berjumpa dengan filsuf-filsuf seperti penulis buku itu. Dan secara kebetulan kala itu melintaslah Crates, seorang filsuf yang beraliran Cynic di depan toko buku. Tanpa ragu pemilik toko buku menunjuk ke arah tokoh fisluf Cynic itu. Ringkas cerita, bergurulah Zeno kepada Crates selama bertahun-tahun lamanya. Tak cukup sampai di situ, ia juga tekun menghadiri kuliah-kuliah filsuf lainnya hingga seiring berjalannya waktu ia sendiri mencapai kematangannya sebagai seorang filsuf.

Zeno tidak pelit berbagi ilmu. Ia mulai mengajarkan filsafatnya sendiri yang boleh jadi berbeda dengan aliran filsafat yang berkembang kala itu. Biasanya ia mengajarkan filosiofinya di sebuah teras yang berpilar, yang dalam bahasa Yunani disebut stoa. Teras ini terletak di sisi sebelah utara agora, sebuah ruang publik yang didesain sebagai tempat berdagang dan berkumpul bertukar pikiran. Semenjak itu, para pengikutnya dikenal sebagai kaum stoa.

Nah, disebabkan kebanyakan orang sulit menyebut stoisisme dengan fasih, jadilah Henry menyebutnya dengan Filosofi Teras yang mengarah pada kata stoa dalam bahasa Yunani yang bermakna teras. Rupanya ini pilihan yang sangat tepat. Saya tidak dapat membayangkan jika buku ini diberi judul yang kaku dan angker, Filsafat Stoa atau Filsafat Stoisisme atau Filsafat Stoik. Jalan ceritanya sangat mungkin akan berbeda jauh. Saya menduga bukunya tidak akan pernah mencapai predikat Mega Best Seller.

 

Apa Tujuan Utama Filosofi Teras?

Stoisisme tidak dirancang sebagai cara instan untuk meraih hal-hal yang bersifat eksoteris, semisal pasangan yang cakep, karir yang cemerlang, bisnis yang gampang mendapatkan investasi hingga miliaran rupiah, atau mungkin anak-anak yang super genius.

Lebih dari itu, stoisisme terutama dimaksudkan sebagai soft skill untuk menggapai dua hal pokok, yakni:

  1. Hidup yang bebas dari berbagai emosi negatif, semisal cemburu buta, sedih, baperan, curigaan, dan lainnya. Stoisisme juga dimaksudkan sebagai jalan mendapatkan hidup yang tenteram. Ketentraman ini sendiri hanya mungkin diraih dengan cara terus berkonsentrasi pada hal-hal yang dapat dikendalikan.
  2. Hidup untuk mengasah berbagai kebajikan atau virtues standar, seperti kebijaksanaan (wisdom), keadilan (justice), keberanian (courage), dan kemampuan menahan diri (temperance).

Kebijaksanaan (wisdom) merupakan kemampuan mengambil keputusan terbaik di dalam segala situasi dan kondisi. Keadilan (justice) mengarah pada sikap yang menjadikan seseorang dapat memperlakukan orang lain dengan jujur dan adil. Keberanian (courage) berarti seorang individu memiliki keberanian berbuat yang benar dan selalu berpegang pada prinsip yang benar. Sedang yang dimaksud menahan diri (temperance) adalah disiplin, kesederhaan, kepatutan, termasuk juga kontrol diri atas nafsu sesaat dan emosi yang meledak.

Penting dicatat bahwa kebahagiaan, dalam makna yang umum, bukanlah tujuan utama dalam filosofi teras ini. Nyatanya, para filsuf stoa lebih mentikberatkan pada pengendalian emosi negatif dan pada saat bersamaan mengasah kebajikan (virtue), terutama 4 macam kebajikan seperti disebut di atas. Virtue dalam bahasa Inggris terambil dari kata virtus (Latin). Kata virtus sendiri terambil dari kata arete (Yunani).

Arete, seperti diungkap Donald Robertson dalam buku Stoicism and the Art of Happiness, bermakna menjalankan sifat dan esensi dasar dengan sebaik-baiknya, dengan cara yang sehat dan terpuji.

Filosofi Teras meyakini bahwa hidup dengan arete/virtue atau kebajikan merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan oleh setiap individu. Tidak peduli apa pun agama dan keyakinannya. Dengan berpegang pada arete/virtue atau kebajikan sembari mengasah kemampuan mengendalikan emosi negatif, diharapkan setiap individu akan hidup damai, tenteram, dan sekaligus tangguh menghadapi berbagai masalah dan rintangan.

Nilai-nilai yang ada pada filosofi teras bersifat inklusif-universal. Siapa saja bisa mempraktikkannya tanpa harus dibayang-bayangi atribut tertentu, semisal prestasi akademik maupun non akademik, kekayaan, agama, suku dan ras, profesi dan sebagainya. Itu sebabnya, dalam sejarahnya filosofi ini dianut oleh individu dengan berbagai latar, mulai dari politisi, bisnisman, kaisar, sampai mantan budak. Tokoh-tokoh yang ditengarai sebagai penganut Stoisisme di abad modern, di antaranya: aktris berbakat Anna Kendrick, mantan presiden US Bill Clinton, penulis laris J.K. Rowling, aktor tampan Tom Hiddleston, dan penulisa buku laris The Black Swan Nassim Nicholas Taleb.

Lebih dari itu, filosofi ini selalu menemukan relevansinya. Tidak ada kata basi. Karena ia adalah filosofi yang peka zaman. Senantiasa selaras dengan konteks ruang dan waktu mana pun. Kare Anderson, lewat artikel berjudul Why Stoicism Matters Today mengurai tiga alasan mengapa filosofi teras relevan hingga era revolusi 5.0 ini, yakni:

1.  Stoisisme ditulis untuk menghadapi masa-masa sulit. Stoisisme tumbuh di era yang penuh gejolak, peperangan, dan krisis di Yunani. Filsafat ini sama sekali tidak menjanjikan materi maupun kedamaian di akhirat. Namun ia menjanjikan kedamaian dan ketenteraman yang kokoh pada kehidupan saat ini. Kedamaian dan ketenteraman yang kokoh ini diraih karena ia berasal dari dalam diri kita, bukan pada hal-hal eksoteris yang dapat berubah, hancur, maupun direnggut dari diri kita.

2. Stoisisme disusun untuk konteks global. Banyak ahli yang berpendapat bahwa stoisisme merupakan filsafat Barat pertama yang mengajarkan persaudaraan yang bersifat universal (universal brotherhood). Di tengah arus dunia yang semakin terpolarisasi dengan kiri dan kanan, konservatif dan liberal, tersekat oleh identitas kesukuan dan agama, sangat dihajatkan sebuah filososfi yang menekankan bahwa kita sesungguhnya adalah satu saudara dalam bingkai kemanusiaan.

3. Stoisisme merupakan filsafat kepemimpinan. Maksud kepemimpinan di sini tidak sesempit yang kita bayangkan, semisal kepemimpinan dalam sebuah tim, organisasi maupun kepemimpinan dalam skala yang lebih luas, yakni negara. Kepemimpinan bahkan harus dimulai terlebih dahulu secara mikroskopis dari memimpin diri sendiri. Karenanya, stoisisme pada asasnya menggembleng kita agar selalu memprioritaskan pengendalian atas diri sendiri sebelum beranjak mengendalikan kehidupan dan orang-orang di luar diri kita. Dalam dimensi lain, stoisisme membekali setiap pemimpin agar senantiasa tegar menghadapi serangkaian kegagalan dan tetap rendah hati saat menggapai kesuksesan.

 

 

 

Share:

0 comments:

Posting Komentar

neracabuku.blogspot.com