Deskripsi Buku
Buku "21 Pelajaran Untuk Abad Ke-21" diterjemahkan secara letterlijk dari buku berbahasa Inggris berjudul 21 Lessons for the 21st Century karya Yuval Noah Harari. Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia pada 30 Maret 2023 oleh Gramedia Pustaka Utama, salah satu penerbit terkemuka tanah air. Bisa dibilang buku yang diterjemahkan oleh Zia Anshor ini merupakan sekuel dari dua buku penulis sebelumnya, yakni Sapiens dan Homo Deus.
Buku "21 Pelajaran Untuk Abad Ke-21" terbagi ke dalam 5 bagian dengan 21 bab. Bagian I: Tantangan Teknologi terdiri dari 4 bab, yakni Kekecewaan, Pekerjaan, Kebebasan, dan Kesetaraan. Bagian II: Tantangan Politik terdiri dari 5 bab, yakni Komunitas, Peradaban, Nasionalisme, Agama, dan terakhir Imigrasi. Bagian III: Keputusasaan dan Harapan terdiri dari 5 bab, yakni Terorisme, Perang, Rendah Hati, Tuhan, dan Sekularisme. Bagian IV: Kebenaran terdiri dari 4 bab, yakni Ketidaktahuan, Keadilan, Pasca-Kebenaran, dan Fiksi Ilmiah. Sedang Bagian V: Keuletan terdiri dari 3 bab, yakni Pendidikan, Makna, dan Meditasi.
Baca juga: The Psychology of Money
Tentang Penulis
Sejauh ini, Yuval Noah Harari dikenal sebagai penulis bertalenta. Dilahirkan pada tahun 1976 di daerah Haifa, Israel. Pria berdarah Yahudi ini meraih gelar Ph.D. pada tahun 2002 dari Oxford University. Selepas menuntaskan studinya, ia mengabdikan diri sebagai staf pengajar pada Jurusan Sejarah, Universitas Ibrani di Yerusalem. Bidang minatnya adalah sejarah, dengan spesifikasi pada sejarah dunia, sejarah abad pertengahan, dan sejarah militer. Penelitian-penelitiannya berfokus pada pertanyaan yang bersifat makro-hostoris seperti: apa hubungan antara sejarah dan ilmu biologi? Adakah keadilan dalam sejarah? Apakah orang semakin berbahagia seiring berjalannya sejarah?
Pada tahun 2009 dan 2012 ia berhasil memenangkan Polonsky for Creativity and Originality in the Humanistic Disciplines. Sementara pada tahun 2011 ia juga berhasil memenangkan Society for Military History’s Moncado Award berkat artikelnya yang mengkaji secara mendalam perihal sejarah militer. Pada tahun 2012, ia terpilih sebagai anggota akademi bergengsi Young Israeli Academy of Sciences.
Sinopsis Buku 21 Pelajaran Untuk Abad Ke-21
Sapiens, Homo Deus, dan 21 Lessons for the 21st Century adalah trilogi sejarah manusia dengan penekanan pada periode tertentu.
Sapiens adalah buku yang mengeksplorasi sejarah awal manusia, mulai dari 2,5 juta tahun yang lalu saat untuk pertama kalinya mereka mendiami daerah Afrika Timur. Dari daerah inilah, sebagaimana yang diyakini Penulis dan Penulis Barat pada umumnya, bentuk awal Sapiens yang berotak 600 sentimeter kubik berevolusi dan kira-kira setengah juta tahun setelahnya mulai bermigrasi menempuh perjalanan panjang menuju Afrika Utara, Eropa, dan Asia.
Kebalikan dari Sapiens, Homo Deus menerawang masa depan umat manusia jauh ke depan dalam skala waktu abad bahkan milenium. Melalui buku ini, Harari meramalkan manusia di masa yang akan datang berpotensi menjadi sang mahakuasa. Pada periode ini manusia digambarkan telah mencapai kekekalan, suatu atribut yang hanya dimiliki Tuhan. Jalan menuju ke arah itu, kata Harari, sangat mungkin digapai dengan menempuh satu dari tiga jalan, yakni rekayasa biologis, rekayasa cyborg, dan rekayasa benda-benda non organik. Secara evolusioner, manusia mulai melakukan berbagai rekayasa, dua yang terpenting di antaranya adalah rekayasa kematian dan penderitaan. Di samping itu, berbagai manipulasi juga digalakkan, mulai dari manipulasi organ tubuh, emosi, iteligensia, kesadaran, DNA, dan sebagainya. Pertanyaannya, akankah Deus menjadi evolusi akhir Homo Sapiens?
Sementara itu, 21 Lessons for the 21st Century dari sisi jangkauan waktu lebih pendek dari jangkauan waktu Homo Deus. Pada buku ini Harari berkonsentrasi menjelaskan fenomena terkini sembari meramalkan masa depan yang tidak terlalu jauh yang akan segera dihadapi umat manusia, mungkin dua puluh hingga tiga puluh tahun ke depan. Di sini Penulis membahas beberapa pertanyaan mendasar. Apa yang sebetulnya tengah terjadi saat ini? Apa saja tantangan terbesar dan pilihan terpenting yang tersedia saat ini? Apa yang seharusnya kita perhatikan? Dan apa yang semestinya kita ajarkan pada anak-anak kita saat ini?
Selaras dengan judulnya, Penulis menegaskan bahwa 21 Lessons for the 21st Century tidak berisi narasai sejarah sebagaimana Sapiens dan Homo Deus, melainkan serangkaian pelajaran terpilih. Sayangnya, pelajaran-pelajaran yang direkam itu tidak berakhir dengan jawaban-jawaban yang terbilang sederhana. Pelajaran-pelajaran ini dimaksudkan sebagai stimulus pemikiran lebih lanjut dan sekaligus mengajak pembaca untuk ikut terlibat dalam beberapa percakapan besar di zaman ini.
Baca juga: Ke Mana Revolusi Industri 5.0 Membawa Kita?
Dalam 21 bab yang sangat provokatif dan inspiratif, Penulis mengurai berbagai persoalan dari sudut pandang yang tak terduga. Persoalan-persoalan yang diurai di antaranya mengenai teknologi, pekerjaan, politik, peradaban, agama, Tuhan, keadilan, pendidikan, nasionalisme, perang, dan terorisme.
Teknologi dan Pasar Tenaga Kerja
Revolusi ganda di bidang teknologi informasi dan bioteknologi berpotensi memporak-porandakan tidak hanya aspek ekonomi dan masyarakat kita, tetapi juga jiwa dan raga kita. Di abad ini manusia melangkah lebih jauh, berusaha mengendalikan dunia di dalam dirinya, sesuatu yang tidak sanggup ia lakukan sebelumnya. Perkembangan teknologi mengarah pada upaya menundaan penuaan tubuh, mendesain otak, memperpanjang usia, hingga menghentikan pemikiran-pemikiran mengganggu, tak ubahnya seperti mematikan lampu dengan remote control.
Manusia berada pada masa di mana ia memiliki seperangkat kemampuan untuk memanipulasi dunia di sekelilingnya dan sekaligus menyusun ulang keseluruhan planet ini. Di sisi lain, algoritma akan merebut pekerjaan kita. Di belakangnya ada kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang siap menginvansi berbagai sektor padat karya yang selama ini diisi manusia. Manusia mungkin tidak akan kehilangan pekerjaan 100% akibat revolusi algoritma dan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Bisa saja pasar tenaga kerja justru merupakan gabungan antara manusia dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Namun karena jenis-jenis pekerjaan baru menuntut keahlian yang sangat tinggi, maka akan selalu ada tenaga kerja tanpa keahlian yang tereliminasi.
Terorisme
Teroris adalah orang-orang yang lihai mengendalikan pikiran, menciptakan ketakutan, kepanikan dan kecurigaan pada orang lain di luar komunitas. Pada batas-batas tertentu ia punya andil besar dalam merevolusi cara kita menggunakan ruang publik. Tiba-tiba saja maal, pasar, masjid, gereja, dan tempat-tempat umum lainnya menjadi tidak aman. Kita jadi saling mencurigai.
Ditilik dari angka kematian yang diakibatkannya, teroris sebenarnya bukan ancaman serius. Mereka adalah segerombolan bromocorah yang membunuh sangat sedikit orang, namun berhasil menciptakan ketakutan pada miliaran orang sekaligus berhasil mengguncang struktur politik yang mapan seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Beberapa negara di Timur Tengah bahkan merasakan efek yang sangat dahsyat.
Sejak peristiwa 11 September 2001, setiap tahun teroris membunuh 25.000 orang di seluruh dunia. Sebagian besar serangan itu justru terjadi di negara-negara Muslim, sebut misalnya Irak, Afghanistan, Pakistan, Nigeria, dan Suriah. Di Eropa sendiri teroris hanya membunuh 50-an orang. Angka itu tentu terbilang kecil. Bandingkan misalnya dengan kematian yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas yang menewaskan sebanyak 80 ribu orang di Eropa, 40 ribu orang di Amerika, 270 ribu orang di China, dan 1,25 juta korban di seluruh dunia. Bandingkan juga dengan data kematian akibat daibetes dan kadar gula darah tinggi yang merenggut 3,5 juta jiwa setiap tahunnya. Pencemaran udara lebih dahsyat lagi, setiap tahunnya mengakibatkan 7 juta orang kehilangan nyawanya.
Pendidikan
Seribu tahun yang lalu, sekira 1018, ada begitu banyak hal yang tidak diketahui secara pasti mengenai masa depan. Namun, mereka yakin bahwa ciri-ciri dasar masyarakat tidak akan banyak mengalami perubahan puluhan bahkan ratusan tahun mendatang. Sebagian besar orang masih akan mengandalkan sektor pertanian dan peternakan sebagai mata pencaharian utamanya. Penguasa masih mengandalkan manusia lainnya untuk mengatur tentara dan birokrat mereka, pria masih mendominasi atas wanita, harapan hidup paling di kisaran empat puluh lima puluh tahunan, dan tubuh manusia masih tetap sama. Tidak mengalami banyak perubahan.
Sebaliknya, hari ini, kita tidak tahu secara pasti seperti apa China atau dunia secara umum pada tahun 2050. Kita tidak tahu persis bagaimana kira-kira cara orang-orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bagaimana tentara atau birokrasi akan berfungsi, dan kita sama sekali tidak tahu bagaimana hubungan antar gender nantinya. Sebagian orang bisa saja hidup lebih lama daripada yang terjadi saat ini. Tubuh manusia boleh jadi mengalami revolusi yang belum pernah terjadi sebelumnya berkat berbagai rekayasa biologis dan koneksi langsung antara otak dan komputer.
Itulah sebabnya kenapa banyak hal yang dipelajari oleh anak-anak kita saat ini kemungkinan besar tidak lagi relevan pada tahun 2050.
Sekolah harusnya beralih ke pengajaran yang mengasah 4C, yakni critical thinking (berpikir kritis), communication (komunikasi), collaboration (kolaborasi), dan creativity (kreativitas). Sekolah harus mengurangi hal-hal yang berbau keahlian teknis dan memprioritaskan keahlian hidup yang bersifat lebih umum. Dan yang lebih penting dari itu adalah bagaimana menumbuhkembangkan kemampuan untuk menghadapi segala bentuk perubahan, mempelajari hal-hal baru, dan termasuk juga bagaimana menjaga keseimbangan mental pada situasi yang tak biasa.
Untuk mengimbangi laju perubahan yang bakal terjadi pada 2050, kita bukan hanya perlu menciptakan gagasan segar dan produk yang baru, namun juga yang terpenting ialah kita perlu menciptakan ulang diri kita terus menerus, lagi dan lagi.
Nah, sebagai orang yang beragama dan menjujung tinggi budaya ketimuran, adab dan sopan santun, baik yang berakar pada agama maupun lokal setempat akan selalu relevan untuk kita ajarkan dan contohkan kepada anak-anak kita. Karena hanya dengan cara itulah kita dapat memastikan diri bahwa kita berbeda dengan binatang dan mungkin juga mesin.
Catatan Penutup
Lepas dari kemegahan karya-karya Yuval Noah Harari, satu hal yang mesti kita garisbawahi tebal-tebal bahwa Barat yang menjadi basis kultural dan akademis Harari memiliki cara pandang dunia (world view) yang berbeda jauh dengan kita, terlebih lagi kita yang menganut suatu agama. Kita meyakini seyakin yakinnya bahwa manusia dan alam semesta tercipta by design oleh Tuhan, bukan ujug-ujug muncul secara evolusioner sebagaimana keyakinan Harari dan ilmuwan lain yang sehaluan dengannya. Pada halaman 477 buku Sapiens, Harari sangat yakin bahwa setiap organisme di planet ini berevolusi secara alamiah. Ia menegasikan fakta normatif bahwa alam semesta tercipta oleh Pencipta Yang Maha Cerdas.
Bahkan bukan hanya dalam tataran biologis semata, rasa keadilan pun, sebagaimana dengan perasaan yang lainnya, menurut Harari seperti terekam pada halaman 228 buku 21 Pelajaran Untuk Abad Ke-21, ternyata memiliki akar evolusioner purba. Moralitas manusia, pungkasnya, dibentuk selama jutaan tahun evolusi yang disesuaikan guna menghadapi berbagai dilema sosial dan etika yang mengemuka dalam kehidupan kelompok kecil pemburu-pengumpul.
Dan agaknya yang paling mengganggu konsentrasi kita adalah menyangkut ke-gay-an Harari. Nalar kita sulit mempercayainya. Tapi itulah anomalinya. Ilmuwan yang karya-karyanya tampak maskulin, gagah perkasa, namun justru di sisi lain memiliki oriontasi gender yang menyimpang, setidaknya dari sudut pandang agama yang saya anut. Pada halaman 53 dari buku yang kita review ini ia berterusterang bahwa, “Waktu berumur 20 tahun, saya akhirnya menyadari bahwa saya ternyata seorang gay setelah beberapa tahun berusaha menyangkalnya.”
Salam literasi, dan Wassalam.
0 comments:
Posting Komentar