CATATAN PEMBUKA
Versi lengkap buku The Tao of Islam karya Sachiko Murata diterbitkan oleh Penerbit Mizan pada Juni 1996, empat tahun setelah edisi Bahasa Inggrisnya terbit. Hingga Mei 2004 versi lengkap buku ini masih terus dicetak hingga 9 kali. Baru kemudian pada Desember 2022 karya Murata ini displit menjadi dua buku. The Tao of Islam: Tuhan dalam Pandangan Sufi adalah judul yang diberikan untuk Buku Kesatu. Sementara Buku Kedua, seperti dijanjikan oleh penerbit, akan difokuskan pada bahasan megenai Alam dan Manusia. Sejauh ini, setahu saya, Buku Kedua tersebut belum diterbitkan.
Meski buku The Tao of Islam karya Murata ini adalah buku terjemahan, namun kita tidak menemukan gangguan disebabkan jeleknya terjemahan. Kita seakan membaca karya penulis dalam negeri. Bahasanya mengalir dan yang terpeting Murata bukanlah ilmuwan kaleng-kaleng. Ia berhasil menjelaskan persoalan yang dipandang paling sakral dalam Islam dengan meminjam konsep Tao dalam tradisi China. Pokoe, The Tao of Islam is a recommended book.
Judul: The Tao of Islam; Tuhan dalam Pandangan Sufi (Buku Kesatu)
Judul Asli: The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationships in Islamic Thought
Penulis: Sachiko Murata
Penerjemah: Rahmani Astuti & M.S. Nasrullah
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: 2022
Klasifikasi: Tasawuf/Filsafat
TENTANG PENULIS
The Tao of Islam: Tuhan dalam Pandangan Sufi adalah karya terbaik Sachiko Murata. Ia menyelesaikan pendidikan strata satunya di kampung halamannya sendiri, tepatnya di Universitas Chiba, Jepang, dengan mengambil konsentrasi hukum keluarga. Selepas itu, ia sempat bekerja pada sebuah firma hukum di pinggiran kota Tokyo selama lebih kurang satu tahun. Kecintaannya pada dunia pendidikan membawanya terabang ke negara Iran untuk mempelajari hukum Islam lebih serius. Di negeri para mullah ini ia berhasil menyelesaikan S2 dan S3-nya.
Gelar Ph.D. diselesaikannya pada tahun 1971 di Universitas Teheran. Ia menulis disertasi Ph.D di bidang Sastra Persia dengan topik peran wanita dalam Haft Paykar, sebuah antologi puisi karya Nizhami. Di universitas ini ia sempat pindah ke Fakultas Teologi, dan ia menjadi wanita pertama sekaligus non-Muslim pertama yang terdaftar sebagai mahasiswanya.
Sementara gelar M.A.-nya di bidang hukum Islam berhasil ia tuntaskan pada tahun 1975. Seperti pengakuannya, tesis M.A.-nya mengkaji perihal nikah mut’ah lengkap dengan relevansi sosialnya, suatu ajaran yang sangat identik dengan syi’ah.
Pada tahun 1977, Murata memutuskan untuk menulis disertasi Ph.D. yang membandingkan antara ajaran Islam dan Konfusianisme tentang keluarga, namun sayang tidak selesai karena keburu terjadi Revolusi Islam Iran yang melegenda itu pada 1979. Dalam masa itu, ia memanfaatkan waktu dengan mempelajari I Ching di bawah bimbingan Profesor Toshihiko Izutsu.
Semenjak tahun 1983, Murata mulai mengajar matakuliah studi agama pada Universitas Stony Brook Amerika Serikat. Selain itu, ia juga mengajar beberapa matakuliah yang beragam, mulai dari Pengantar Studi Jepang, Spritualitas Feminin dalam Agama-Agama Dunia, Budhisme Jepang, dan termasuk juga mengenai Islam dan Konfusianisme.
Dengan penghargaan dan pengakuan dari berbagai komunitas akademis, Sachiko Murata telah berkontribusi dalam meningkatkan pemahaman global tentang Islam, perbandingan agama, dan budaya Timur. Karya-karyanya memainkan peran penting dalam mendorong dialog dan pemikiran lebih lanjut tentang kompleksitas dan keragaman dalam studi agama.
Baca juga ulasan: The Black Swan Taleb
THE TAO
Istilah Tao (juga dieja sebagai "Dao" dalam pinyin) berasal dari ajaran Taoisme, yang merupakan sistem filosofis dan spiritual yang berasal dari China. Konsep Tao adalah salah satu konsep inti dalam Taoisme dan memiliki makna yang dalam dan kompleks.
Secara harfiah, Tao dapat diterjemahkan sebagai "jalan" atau "cara". Namun, dalam konteks Taoisme, konsep ini mencakup lebih dari sekadar makna harfiah. Taoisme menggambarkan Tao sebagai prinsip dasar yang melandasi alam semesta dan mengatur alur segala sesuatu. Tao tidak dapat didefinisikan dengan kata-kata, tetapi dipahami sebagai kekuatan yang mendasari kehidupan dan alam semesta. Beberapa aspek kunci tentang konsep Tao dalam Taoisme meliputi: keseimbangan dan harmoni; sederhana dan alami; Wu Wei; dan keterhubungan dengan alam semseta.
Taoisme mengajarkan bahwa harmoni dapat ditemukan dengan mengikuti alur alami dan mengamati keseimbangan dalam segala hal. Kekuatan Tao mengarah pada keselarasan antara berbagai aspek kehidupan. Taoisme juga menekankan pentingnya sederhana dan kembali ke keadaan alami. Mengikuti alur Tao berarti menjalani hidup dengan cara yang alami dan sederhana. Sedang istilah "Wu Wei" berarti "tanpa tindakan" atau "tidak berusaha secara aktif." Dalam konteks Taoisme, Wu Wei mengacu pada cara hidup yang berjalan seiring alur alam, tanpa memaksa atau mempertahankan kehendak ego. Selain itu, konsep Taoisme juga mengajarkan bahwa manusia adalah bagian integral dari alam semesta. Dengan mengikuti alur Tao, manusia dapat hidup dalam keseimbangan dengan alam dan mencapai kebahagiaan yang dalam.
Baca juga ulasan: Self Theories Prof. Carol Dweck.
KOSMOLOGI DALAM ISLAM
Islam adalah din yang sempurna dan ajaran-ajarannya mencakup segala hal. Islam memiliki ajaran tentang kosmologi, walaupun tidak sepopuler ajaran kosmologi dalam filsafat China.
Kosmologi China menggambarkan alam semesta dalam batasan-batasan kerangka yang disebut yin dan yang, yang dapat dipahami sebagai prinsip-prinsip eksistensi yang bersifat aktif (pria) dan reseptif (wanita). Yin dan yang digambarkan sebagai eksistensi yang merangkul satu sama lain dalam keselarasan, di mana perpaduan keduanya menghasilkan Sepuluh Ribu Hal, yaitu segala sesuatu yang ada. Simbol populer, Tai Chi atau disebut juga Tao, pada dasarnya menggambarkan yin dan yang sebagai sebuah gerakan dan perubahan yang konstan. Dalam fenomena tertentu, hubungan antara yin dan yang terus menerus mengalami perubahan. Oleh karenanya, seluruh jagad raya berubah setiap saat, tak ubahnya sungai yang mengalir. “Perubahan” atau I merupakan proses langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di antara keduanya terus menerus diciptakan. Yin dan yang melukiskan prinsip-prinsip perubahan sekaligus simbol bagi seluruh gerakan yang ada di jagad raya. Saat matahari terbit, maka bulan pun tenggelam. Saat musim semi tiba, maka musim dingin pun tiba. Dalam kata bijak Konfusius hal ini dinarasikan dengan “Bagaikan sebuah sungai yang mengalir, seluruh jagad raya terus-menerus mengalir tanpa henti, siang dan malam.” Dan jika harmoni antara yin dan yang sirna, maka secara otomatis jagad raya akan berhenti mengalir dan tidak akan ada sesuatu pun.
Sementara itu, kosmologi dalam Islam juga bertumpu pada konsep komplementaritas atau polaritas antara prinsip aktif dan reseptif, mirip (dalam batas-batas tertentu dapat disamakan) dengan konsep kosmologi dalam filsafat China.
Dalam Islam, dualitas kosmos pasti terkait dengan Dzat Allah, yang dikonsepsikan melampaui segala bentuk dualitas. Setiap Muslim sepakat bahwa eksistensi jagad raya bergantung pada Realitas tunggal ini. Karenanya, tidak ada realitas yang mendahului atau bersamaan eksis dengan Realitas tunggal ini. Ini serupa dengan tradisi China yang mengkonsepsikan bahwa sebelum ada yin dan yang, sudah ada terlebih dahulu Tai Chi atau Puncak Agung, dan sama sekali tak terdifrensiasi.
Kosmos dalam konsepsi Islam, terdiri dari 3 realitas dasar yang saling terhubung, yakni Allah, kosmos (makrokosmos), dan manusia (mikrokosmos). Ketiganya terjalin harmonis dengan Allah sebagai puncaknya dan sekaligus merupakan sumber yang menciptakan dua entitas yang berada di bawahnya. Ini karena, baik makrokosmos maupun mikrokosmos merupakan realitas-realitas derivatif atau turunan.
Istilah-istilah yang umum dipakai dalam sekian teks rujukan yang berkenaan dengan makrokosmos dan mikrokosmos adalah kedua kata tersebut merupakan terjemahan letterlijk dalam bahasa Arab atas term Yunani: al-‘alam al-kabir (alam besar) dan al-‘alam ash-shagir (alam kecil). Dalam banyak kesempatan, tidak jarang keutamaan ditekankan pada manusia, sehingga makrokosmos pun disebut manusia besar (al-insan al-kabir) dan sebaliknya mikrokosmos disebut manusia kecil (al-insan ash-shagir). Dengan begitu, istilah makrokosmos sebenarnya sinonim dari dunia atau kosmos, yang umumnya didefinisikan sebagai “segala sesuatu selain Allah.” Istilah makrokosmos (bukan kosmos) kerap digunakan untuk mengontraskannya dengan istilah mikrokosmos. Istilah yang disebutkan terakhir ini hampir pasti selalu merujuk pada manusia, yang dalam banyak segi oleh para filsuf digambarkan sebagai entitas yang melambangkan seluruh sifat/kualitas yang terdapat dalam diri Allah dan makrokosmos.
Dibandingkan dengan makhluk lainnya, manusia sedikitnya memiliki dua keistimewaan. Pertama, manusia merupakan totalitas dari keseluruhan, sedang makhluk-makhluk lainnya merupakan bagian-bagian (parsialitas). Manusia memanifestasikan seluruh sifat makrokosmos, sementara makhluk-makhluk lainnya memanifstasikan hanya sebagian sifat tertentu. Manusia diciptakan dalam citra Allah, sementara makhluk-makhluk lainnya hanya sebagai konfigurasi parsial dari sifat-sifat Allah.
Kedua, makhluk-makhluk lainnya memiliki trajektori (lintasan hidup) yang baku dan kaku serta tidak pernah menyimpang dari trajektorinya. Sebaliknya, manusia justru tidak memiliki sifat yang baku dan kaku karena mereka dapat memanifestasikan keseluruhan. Keseluruhan tentu saja tidak dapat didefinsikan karena ia identik dengan “bukan sesuatu” atau bukan sifat-sifat yang spesifik. Manusia adalah misteri, di mana hakikat puncaknya tidak diketahui secara pasti. Mereka harus mengalami sebuah proses yang memungkinkan dirinya menjadi apa yang seharusnya (das sollen). Dengan begitu, berbagai kemungkinan yang terbuka bagi manusia sebetulnya ditentukan oleh sifatnya yang tidak terdefinisikan. Jika seluruh kosmos, selain manusia, menduduki tempat khusus dan tidak akan mungkin menjadi selain dirinya, namun tidak demikian dengan manusia. Manusia, kendati memiliki kedudukan khusus dalam pandangan Allah, mengalami perkembangan dan perubahan dari sudut pandangnya sendiri. Kosmos tetaplah kosmos, kupu-kupu misalnya, meski bermatamorfosis tetaplah seekor kupu-kupu. Ia tidak akan berubah menjadi gajah, atau katak, atau yang lainnya. Begitu juga dengan makhluk lainnya. Namun manusia, bisa tetap menjadi manusia atau bahkan bisa berubah menjadi selain manusia.
Baca juga ulasan: Filosofi Teras
DUALITAS ILAHI
Pengetahuan kita tentang Tuhan sangatlah terbatas, karena Dia sendiri tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu apa pun. Namun pada saat yang sama, kita juga bisa mengetahui sesuatu tentang diri-Nya, karena Dia dipersepsikan serupa dengan makhluk-makhluk-Nya. Karenanya kita memiliki perspektif ketakterbandingan (tanzih) sekaligus keserupaan (tasybih) pada dua tataran yang berbeda.
Pada tataran pertama, Allah digambarkan sebagai Dzat yang berbeda, yang tidak dapat diketahui secara mutlak dalam diri-Nya sendiri, dan di sisi lain ditegaskan sebagai Dzat yang bisa diketahui secara relatif melalui sifat-sifat-Nya. Sementara pada tataran kedua, melihat sifat-sifat yang dapat diketahui secara relatif, dan kemudian menegaskan sifat-sifat yang menyatakan ketakterbandingan dan keserupaan.
Penting ditegaskan bahwa dualitas (seperti tanzih dan tasybih) tidak mengimplikasikan pemisahan yang mutlak. Alih-alih terpisah, dualitas mengarah pada dua dimensi yang komplementer (saling melengkapi) dan kesalinghubungan dari suatu realitas tunggal.
Selain terjadi dualitas pada ke-tanzih-an dan ke-tasybih-an, pada diri Allah juga dipersepsikan terjadi dualisme, terutama pada sisi nama dan/atau sifat-Nya. Nama-nama Allah seringkali dibagi ke dalam dua kategori yang berlawanan, yakni nama-nama jamaliyyah (keindahan) dan nama-nama jalaliyyah (keagungan). Nama-nama keindahan menuntut Allah harus selalu dekat dengan makhluk-Nya, sehingga mereka pun merasakan kedekatan (uns) dengan-Nya. Sedang nama-nama keagungan ini mengharuskan Dia jauh dari makhluk-Nya sehingga mereka pun merasakan kehebatan (haibah)-Nya. Sementara kategori jamaliyyah lebih banyak berkaitan dengan sisi yin atau resepetif. Ini karena ia berhubungan dengan sifat-sifat “feminim”, seperti cinta, keindahan, dan kasih sayang. Di sisi lain, kategori jalaliyyah lebih banyak berhubungan dengan sisi yang atau aktif, karena ia berkaitan dengan sifat-sifat “maskulin” seperti dominasi, kekuasaan, dan kekuatan.
Masing-masing sisi dari ke-jalaliyyah-an dan ke-jamaliyyah-an ini saling melengkapi, karenanya tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Keindahan memiliki keagungannya sendiri, begitu juga sebaliknya, keagungan memiliki keindahannya sendiri. Kemurkaan mengandung sisi rahmat, dan rahmat tidak selalu bebas dari sisi kemurkaan.
Dualisme juga terjadi pada nama dan atau sifat-sifat spesifik Allah. Dia dipersepsikan sebagai Yang Maha Menghidupkan sekaligus Yang Maha Mematikan, Yang Maha Pengampun sekaligus Yang Maha Pendendam, Yang Maha Memuliakan sekaligus Yang Maha Menghinakan.
Setiap pasangan nama dan atau sifat ini berkaitan dengan kondisi yang berlawanan di kosmos, sebagian hidup sebagian lagi mati. Sebagian orang tidak dihukum di dunia hanya untuk menanggung penderitaan di akhirat kelak, sedang yang lain justru menanggung penderitaan di dunia demi memperoleh ampunan di akhirat. Sebagian rendah dan sebagain tinggi. Skema-skema ini tidaklah kaku melainkan sangat cair. Dalam skema Allah, manusia yang turun merendah dalam penghambaan pasti akan menanjak naik-meninggi melalui kekhalifahan.
Allah merupakan realitas hakiki dan mutlak, sedang alam atau kosmos merupakan realitas yang bersifat nisbi dan sekaligus derivatif. Oleh karenanya, Allah sangat berkuasa terhadap kosmos. Allah adalah yang, sementara alam atau kosmos adalah yin.
Allah mengendalikan kosmos dengan dua cara yang sesuai dengan 2 macam hubungan dasar antara Allah dan kosmos, yakni ketakterbandingan (tanzih) dan keserupaan (tasybih). Dalam pola hubungan pertama, semuanya berhubungan dengan nama-nama keagungan dan kekerasan (jalaliyyah). Sementara pada pola hubungan kedua berkaitan dengan nama-nama keindahan dan kelembutan (jamaliyyah). Dilihat dari sisi ini, Allah adalah yang sekaligus yin.
Baca juga ulasan: Sapiens Yuval Noah Harari
CATATAN PENUTUP
Dengan meminjam konsep Tao dalam tradisi China, Sachiro Murata menjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan nama dan sifat Allah yang dikaitkan dengan kosmos. Murata berhasil menjelaskan hubungan sinergis yang bersifat polaritas-komplementaritas antara entitas Allah, alam semesta (makrokosmos), dan manusia (mikrokosmos).
Dalam buku ini, Murata menitikberatkan perhatiannya pada pandangan berbagai kelompok sufi dan filsuf. Pilihan pada dua kelompok ini dikarenakan mereka memiliki keluwesan dan kehalusan tersendiri dalam membahas soal-soal yang berkenaan dengan Allah dan alam raya (kosmos). Untuk memperkuat argumentasinya, Murata banyak mengutip pandangan para tokoh sufi dan filsuf, semisal Ibnu Arabi, Ikhwanus Shafa, Jalaluddin Rumi, al-Farghani, Abu Bakar al-Kalabadzi, Najmuddin Kubra, dan lainnya.
Reviewer: Rusdan, bukan siapa-siapa