Dari Abu Hurairah, Nabi SAW. bersabda, “Kaya bukanlah banyaknya harta benda yang dimiliki, akan tetapi kaya adalah kaya hati.” (HR. Bukhari-Muslim).
Umumnya kita keliru memahami kaya (rich) dan memiliki kekayaan (wealthy). Dua istilah yang cukup familiar sebetulnya. Namun itu tidak menjamin kita dapat mendudukkan kedua istilah tersebut secara benar. Celakanya kita malah memandang keduanya sama. Padahal ini bukan soal semantik semata. Morgan Housel melalui buku The Psychology of Money mengingatkan bahwa kesalahan memaknai perbedaan keduanya menjadi sumber utama keputusan yang buruk terkait uang.
Kaya (rich) merujuk ke pendapatan sekarang. Saat ini. Seseorang yang mengendarai mobil mewah seharga miliaran rupiah sudah pasti orang kaya, bahkan ketika ia membelinya dengan cara berutang. Tentu saja diperlukan tingkatan pendapatan tertentu agar bisa menanggung cicilan bulanan yang nominalnya tidak sedikit. Ini tidak mudah bagi kebanyakan orang. Begitu juga dengan orang yang memiliki rumah mewah, lengkap dengan berbagai fasilitas pendukung kemewahannya, perhiasan mewah, out fit branded yang harganya tidak jarang di luar nalar. Dalam ukuran manapun ia telah masuk circle orang kaya.
Namun kekayaan (wealthy) soal lain. Ia tersembunyi. Tidak terlihat. Ibarat harta karun, kekayaan adalah pendapatan yang tidak dibelanjakan. Kekayaan adalah pilihan yang belum diambil untuk membeli sesuatu kelak di masa yang akan datang. Nilainya berada di pemberian pilihan, keleluasaan, dan pertumbuhan agar kelak bisa membeli lebih banyak barang daripada yang dapat dibeli sekarang. Kekayaan adalah kenikmatan yang ditunda saat ini demi masa yang akan datang yang tidak menentu.
Kekayaan adalah mobil mewah yang tidak dibeli, intan berlian yang tidak dibeli, arloji super mahal yang tak dikenakan dipergelangan, pakaian branded yang tak dipakai, penerbangan kelas satu yang tidak dinaiki, rumah mewah yang tak ditempati, rekreasi ke luar negeri yang tidak dilakoni dan seterusnya. Kekayaan adalah aset finansial yang belum diubah menjadi barang dan mungkin juga jasa yang bisa dilihat.
Jadi, satu-satunya cara memiliki kekayaan adalah dengan jalan tidak membelanjakan uang yang kita miliki saat ini. Terlebih untuk hal-hal yang tidak penting. Belanja tidak terlarang, tapi harus memperhatikan skala prioritas dan segi kemendesakannya.
Maka, kekayaan adalah kombinasi sinergis antara hemat dan paranoid. Jika gaya hidup hemat sukar dibudayakan, setidaknya kita mesti paranoid dengan masa depan yang serba tidak pasti. Paranoid akan jatuh miskin tanpa penghasilan, tidak bisa hidup layak di masa tua, tidak memiliki cukup uang untuk membayar fasilitas kesehatan, paranoid dengan masa depan pendidikan-sosial-kesehatan anak dan hal-hal ekstrim lainnya dapat mendorong seseorang berupaya menciptakan kekayaannya di saat yang tepat.
Lantas setelah kita mendiskusikan tentang kaya dan kekayaan, pertanyaan pentingnya adalah bagaimana menciptakan kekayaan? Lagi-lagi Morgan Housel memberi arahan ringkas, menabunglah. Ya, menabunglah sen demi sen di bank-bank yang menjamin kita bisa tidur nyenyak. Bila perlu belilah saham perusahaan terpercaya, mungkin blue chip.
Gagasan pentingnya adalah membangun kekayaan tidak banyak hubungannya dengan pendapatan atau hasil investasi. Ia lebih banyak ditentukan oleh tingkat tabungan. Tabungan pribadi yang dikombinasikan dengan gaya hidup sederhana merupakan bagian dari rumus keuangan yang lebih mudah kita kendalikan. Dibandingkan dengan investasi, menabung punya peluang berhasil 100%.
Gagasan penting lainnya adalah tingkat tabungan yang tinggi berarti memiliki pengeluaran yang lebih rendah, dan pengeluaran yang lebih rendah berarti tabungan kita bisa bertahan lebih lama ketimbang kita membelanjakan uang lebih banyak hari ini.
Menabung, pada dasarnya, tidak memerlukan tujuan khusus, semisal untuk membeli rumah, kendaraan baru, biaya pendidikan anak, biaya rekreasi. Kita bisa menabung hanya dengan alasan ingin menabung. Dan memang seharusnya begitu. Menabung saja. Kita tidak butuh alasan canggih untuk memulai menabung.
Baca juga: The Psychology of Money
Pada dasarnya, menabung adalah proses cerdik memilah antara ego dan pendapatan. Alih-alih kasat mata, kekayaan seperti telah disinggung sebelumnya merupakan sesuatu yang tak kasat mata. Kekayaan diciptakan dengan menekan belanja tidak perlu saat ini agar bisa punya lebih banyak barang/jasa dan pilihan di masa yang akan datang. Catatan pentingnya adalah berapa pun penghasilan kita pada periode tertentu, kita tidak akan pernah bisa membangun kekayaan dengannya kecuali jika kita paksa diri untuk membatasi keasyikan kita dalam membelanjakan pendapatan tersebut saat ini. Ringkasnya, kekayaan yang dengannya kita hidup mandiri di masa yang akan datang hanya mungkin jika saat ini kita menekan segala keinginan membelanjakan pendapatan yang tidak perlu. Ini tidak ada kaitannya dengan besar kecil pendapat. Kuncinya adalah menabung, betapa pun kecilnya pendapatan kita. Akumulasi sesuatu yang kecil dalam rentang waktu yang panjang akan menjadi sesuatu yang besar.
Hemat agar bisa menabung dan paranoid akan melahirkan kemandirian finansial yang tidak dimiliki setiap orang. Kita bisa saja terlibat perdebatan sengit terkait esensi kemandirian finansial. Argumen apa pun yang kita kemukakan, kemandirian finansial tidaklah identik dengan berhenti bekerja. Meski jalan itu terpaksa ditempuh demi meraih kemandirian finansial, terutama bagi yang bekerja di sektor formal yang menekankan relasi satu arah yang kaku, atasan-bawahan. Seseorang bisa saja memilih pensiun dini demi memasuki zona nyaman kemandirian finansial. Namun itu dilakukan atas kemauan sendiri bukan karena sudah seharusnya pensiun. Dalam makna yang luas - saya kira setiap kita memimpikan keadaan ini - kemandirian finansial berarti melakukan pekerjaan yang kita suka bersama dengan orang yang kita sukai pada waktu dan tempat yang kita inginkan, tanpa ada paksaan. Tanpa didekte dengan aturan rigid yang mengikat. Kita bebas melakukan apa pun sebebas tidak melakukannya, bebas melakukan saat ini sebebas melakukannya nanti. Ini terdengar musykil. Tapi itulah kondisi yang pasti kita impikan. Setiap kita pasti memimpikan bisa bangun pagi dengan tenang, menyeruput secangkir kopi yang hangat sembari tetap menjaga keakraban dengan keluarga, mendengar celoteh mereka tanpa diburu waktu. Setelahnya kita bisa memilih pekerjaan yang ingin kita lakukan. Di mana saja, di rumah atau di luar rumah. Sendiri atau ditemani oleh orang lain. Dengan siapa pun, itu tidak terlalu penting. Yang jelas kita bebas, melakukan atau tidak melakukan. Kini, esok dan seterusnya.
Dan bentuk kekayaan tertinggi seperti dicatat Housel adalah berkenaan dengan kemandirian finansial ini. Gambarannya bisa jadi sangat sederhana, yakni mampu bangun di pagi yang cerah dan sumringah berucap, “Saya bisa melakukan apa pun yang saya inginkan hari ini.”
Kemampuan berbuat apa saja yang kita inginkan, kapan saja, di mana saja, dengan siapa saja yang kita inginkan, selama itu bisa kita lakukan, sungguh tak ternilai harganya. Inilah dividen tertinggi yang dapat diberikan uang. Inilah kebahagiaan universal itu, bahwa orang ingin memegang kendali atas hidupnya dan bukan berada di bawah pengendalian orang lain.
0 comments:
Posting Komentar