Berbeda dengan paham/aliran empirisme yang mengandalkan persepsi indrawi atau pengamatan indrawi sebagai titik awal perkembangan sains, Karl R. Popper dalam buku All Life is Problem Solving justru menekankan bahwa sains, baik itu ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial selalu bermula dari suatu masalah. Masalah ini kemudian dicoba dicarikan berbagai solusi penyelesaian yang relevan dan efektif. Solusi penyelesaian yang dicoba bisa saja tunggal bisa juga beragam. Pada tahap ini trial and error dijalani. Jika solusi penyelesaian yang dicoba tidak punya alternatif lain dan dipandang relevan dan efektif, maka masalah dipandang telah menemukan jalan keluarnya. Namun jika solusi penyelesaian yang dicoba ternyata beragam, maka tahap berikutnya adalah eliminasi atau penghapusan solusi yang tidak berhasil. Atau mugkin saja berhasil namun dipandang tidak efektif dan efesien dibanding solusi lain yang serupa. Sehingga perlu dilakukan eliminasi atau penghapusan yang tidak berhasil.
Baca juga: Menguji Literasi Digital Anda
Ringkasnya, Karl R. Popper sebetulnya hendak menegaskan bahwa belajar melalui trial and error selalu melalui tiga tahap yang ia sebut model tiga tahap, yakni:
1. The problem
2. The attempted solutions, dan
3. The elimination.
Model tiga tahap Karl R. Popper tersebut akan dilihat secara berbeda pada uraian ringkas berikut ini.
Terlepas dari silang pendapat mengenai asal muasal sains di kalangan ahli, namun asumsi bahwa segala sesuatu bermula dari masalah lebih logis dan sesuai dengan fakta yang ada. Dan memang manusia sepanjang sejarahnya selalu berkutat dengan masalah dan masalah, baik saat berhadapan dengan dirinya sendiri maupun dengan hal-hal di luar dirinya. Di sini sangat mungkin berlaku relativitas. Masalah bagi seseorang bisa jadi bagi orang lainnya bukan masalah. Yang dipandang masalah berat bagi seseorang boleh jadi bagi orang lain justru dipandang masalah yang ringan. Begitu juga sebaliknya.
Berpikir bahwa manusia terkotak-kotak secara absolut menjadi orang-orang yang selalu menghadapi masalah bertubi-tubi dan orang-orang yang hidupnya selalu berada pada zona nyaman (comfort zone) jelas merupakan kekeliruan. Faktanya, manusia tidak terkotak-kota secara absolut pada orang yang selalu bahagia dan orang-orang yang selalu susah atau orang-orang yang selalu sedih di satu sisi dan orang-orang yang selalu bahagia di sisi lainnya.
Setiap orang pasti berhadapan dengan berbagai masalah. Suka atau tidak suka. Siap atau tidak siap. Di kala lain ia akan masuk zona nyaman.
Masalah yang dihadapi oleh seseorang berbanding lurus dengan beban tanggungjawabnya. Jika tanggungjawab yang dipikul kecil, maka masalah yang dihadapi juga kecil. Jika skup tanggungjawabnya terbatas pada teritori tertentu, maka secara otomatis skup masalah yang dihadapi juga terbatas pada teritori itu. Intinya, seperti firman Allah SWT. dalam QS. al-Isra’ (17): 84, “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Tidak ada orang yang dibebani lebih dari kapasitas dirinya. Inilah yang kita pahami dari firman Allah SWT., “Allah tidak membebani seseorang dengan suatu masalah melainkan yang sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. al-Baqarah (2): 286).
Baca juga: Menguak Pesona Polymath Muslim
Jadi, apa pun masalah yang dihadapi selalu memiliki jalan keluarnya sendiri-sendiri. Tidak ada masalah yang yang tidak memiliki jalan keluar atau solusi. Tidak ada istilah jalan buntu. Jika ada masalah, maka pasti ada jalan penyelesaiannya. Masalah dan solusi adalah saudara kembar. Itu sebabnya seseorang hanya perlu mencoba berbagai jalan penyelesaian dari masalah yang dihadapi. Ia tidak boleh pasrah dan berpangku tangan. Ia harus proaktif. Karena memang all life is problem solving.
Oleh: Rusdan, bukan siapa-siapa
0 comments:
Posting Komentar