
Pada kata pengantar buku larisnya The Psychology of Money, Morgan Housel, menggariskan satu premis penting bahwa mengelola uang dengan baik sama sekali tidak ada hubungannya dengan kecerdasan seseorang. Ia lebih banyak dipengaruhi oleh perilaku seseorang. Ironisnya, perilaku sangat sulit diajarkan, bahkan kepada orang-orang yang sangat cerdas sekalipun. Artinya, seorang yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, katakanlah genius, berpeluang besar kehilangan kendali atas emosinya yang dapat menjerumuskannya ke bencana keuangan yang memiskinkan dirinya. Sebaliknya, orang biasa tanpa pendidikan finansial yang memadai bisa menjadi orang kaya raya jika mereka memiliki sejumlah keahlian terkait perilaku yang tidak ada hubungannya dengan ukuran kecerdasan finansial.
Richard Fuscone dan Ronald James Read adalah contoh kontras dari premis Morgan tersebut. Kisah keduanya menarik ditelisik.
Si Mental Miskin
Richard Fuscone adalah eksekutif muda pada Merrill Lynch, memperoleh gelar MBA dari kampus bergengsi dunia Harvard University. Setelah melewati fase puncak karir di bidang keuangan pada usia 40-an, secara mengagetkan ia mengajukan pensiun dini dan memilih jalan hidup sebagai filantropis. Banyak orang yang tersentak dengan keputusannya, seorang di antaranya adalah David Komansky, mantan CEO Merrill Lynch. Komansky memuji Fuscone sebagai eksekutif yang memiliki serangkaian keahlian bisnis, kepemimpinan, pertimbangan bagus, dan integritas baik yang layak dibanggakan. Akumulasi soft skill yang jarang dimiliki orang lain. Dan ia meraihnya dalam usia yang terbilang sangat muda, di bawah 40-an. Sehingga wajar jika Crain’s, sebuah majalah bisnis memasukkan dia ke dalam daftar pebisnis sukses “40 dibawah 40.”
Namun dalam perjalan waktu kemudian semuanya ambyar. Alih-alih menjalankan tugas filantropinya dengan tenang, pada 2000-an Fuscone justru terjebak utang. Dia meminjam banyak uang hanya untuk memperluas dan mempermewah rumah 1.600 meter persegi miliknya di Greenwich, Connecticut dengan sebelas kamar mandi, dua lift, dua kolam renang, tujuh buah garasi, dan dia masih harus mengeluarkan biaya pemeliharaan bulanan di atas $90.000.
Semuanya berjalan wajar hingga pada 2008 krisis keuangan melanda, menghajar keuangan hampir semua orang, tak terkecuali Fuscone. Utang besar dan aset tak likuid membuatnya bangkrut seketika. Singkat cerita, ia divonis pailit pada tahun itu. Rumahnya di Palm Beach disita. Pada tahun 2014 giliran rumah mewahnya di Greenwich ikut disita.
Baca juga: The Psychology of Money
Richard Fuscone adalah eksekutif muda pada Merrill Lynch, memperoleh gelar MBA dari kampus bergengsi dunia Harvard University. Setelah melewati fase puncak karir di bidang keuangan pada usia 40-an, secara mengagetkan ia mengajukan pensiun dini dan memilih jalan hidup sebagai filantropis. Banyak orang yang tersentak dengan keputusannya, seorang di antaranya adalah David Komansky, mantan CEO Merrill Lynch. Komansky memuji Fuscone sebagai eksekutif yang memiliki serangkaian keahlian bisnis, kepemimpinan, pertimbangan bagus, dan integritas baik yang layak dibanggakan. Akumulasi soft skill yang jarang dimiliki orang lain. Dan ia meraihnya dalam usia yang terbilang sangat muda, di bawah 40-an. Sehingga wajar jika Crain’s, sebuah majalah bisnis memasukkan dia ke dalam daftar pebisnis sukses “40 dibawah 40.”
Namun dalam perjalan waktu kemudian semuanya ambyar. Alih-alih menjalankan tugas filantropinya dengan tenang, pada 2000-an Fuscone justru terjebak utang. Dia meminjam banyak uang hanya untuk memperluas dan mempermewah rumah 1.600 meter persegi miliknya di Greenwich, Connecticut dengan sebelas kamar mandi, dua lift, dua kolam renang, tujuh buah garasi, dan dia masih harus mengeluarkan biaya pemeliharaan bulanan di atas $90.000.
Semuanya berjalan wajar hingga pada 2008 krisis keuangan melanda, menghajar keuangan hampir semua orang, tak terkecuali Fuscone. Utang besar dan aset tak likuid membuatnya bangkrut seketika. Singkat cerita, ia divonis pailit pada tahun itu. Rumahnya di Palm Beach disita. Pada tahun 2014 giliran rumah mewahnya di Greenwich ikut disita.
Baca juga: The Psychology of Money
Si Mental Kaya
Jalan cerita Ronald James Read jauh berbeda dengan Richard Fuscone. Read menjadi orang pertama di kelurganya yang lulus SMA. Namun fakta itu tidak begitu penting. Dan dia bukanlah orang yang istimewa. Kehidupannya sungguh sangat bersahaja. Saking bersahajanya, seorang teman dekatnya mengenang Read hanya sebagai orang yang punya hobi memotong kayu bakar.
Namun ia termasuk pekerja keras yang jarang mengeluh. Tidak kurang 42 tahun lamanya ia menjalani pekerjaan rendahan, 25 tahun memperbaiki mobil di pom bensin dan 17 tahun menjadi tukang sapu di JCPenney. Dia membeli rumah dengan dua kamar seharga $12.000. Harga yang sangat murah bahkan jika dibandingkan dengan biaya pemeliharaan bulanan rumah Fuscone yang mencapai $90.000. Di rumah itulah Read tinggal bersama istrinya. Sisi melankolisnya, dia ditinggal mati oleh istrinya ketika berumur 50 tahun dan diketahui ia tidak pernah berminat untuk menikah lagi.
Read terbilang berusia lanjut. Ia meninggal dunia dalam usia 94 tahun pada 2014. Tercatat ada 2.813.503 orang Amerika yang meninggal dunia pada tahun yang sama. Namun tidak sampai 4.000 orang yang memiliki harta di atas $8 juta saat meninggal dunia. Read beruntung, dia termasuk di dalamnya.
Di surat wasiatnya, Read yang bersahaja mewariskan tak kurang $2 juta kepada anak-anak tirinya dan $6 juta lebih kepada rumah sakit dan perpustakaan setempat. Total ada $8 juta yang diwariskannya. Jika diasumsikan kurs $1 setara Rp14.000, maka tak kurang Rp112 miliar yang diwariskan laki-laki gaek itu. Orang yang mengenal Read tentu kaget, bertanya-tanya, dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu.?
Morgan Housel memberikan jawaban singkat. Menurutnya tidak ada hal yang spesial. Tidak ada rahasia yang ditutupi. Tak ada kemenangan lotre atau warisan besar yang diterima. Read menabung berapa pun yang bisa ia tabung dan menginvestasikan sebagiannya di saham blue chip. Hanya itu. Sama sekali tidak ada strategi yang canggih.
Baca juga: Cepat Kaya, Pelajari Kaidahnya
Mental Kaya VS Mental Miskin
Ronald James Read, simpul Morgan Housel lebih lanjut adalah orang yang sabar, sedang Richard Fuscone adalah orang tamak. Orang sabar sangat mungkin merasa cukup dengan apa yang dimiliki sedang orang tamak sudah pasti tidak akan pernah merasa cukup. Ia justru gelisah dengan apa yang tidak dimiliki dan pada saat bersamaan ia tidak merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Dari sini sejarah ketamakan bermula.
Untuk memahami mengapa Richard Fuscone dan orang yang semisal dengannya terjebak pada utang, kita tidak perlu belajar mengenai suku bunga dengan semua teorinya. Kita hanya perlu belajar sejarah ketamakan, kegelisahan, dan optimisme. Ketamakankah yang menjerumuskan Fuscone ke jurang kehancuran finansial dan optimismelah yang mendorong Read bersusah payah menabung sen demi sen sembari menginvestasikan sebagiannya ke saham blue chip hingga ketika meninggal dunia ia mewariskan tak kurang $8 juta. Sebuah angka yang sulit diraih, terlebih saat krisis ekonomi melanda.
Jalan cerita Ronald James Read jauh berbeda dengan Richard Fuscone. Read menjadi orang pertama di kelurganya yang lulus SMA. Namun fakta itu tidak begitu penting. Dan dia bukanlah orang yang istimewa. Kehidupannya sungguh sangat bersahaja. Saking bersahajanya, seorang teman dekatnya mengenang Read hanya sebagai orang yang punya hobi memotong kayu bakar.
Namun ia termasuk pekerja keras yang jarang mengeluh. Tidak kurang 42 tahun lamanya ia menjalani pekerjaan rendahan, 25 tahun memperbaiki mobil di pom bensin dan 17 tahun menjadi tukang sapu di JCPenney. Dia membeli rumah dengan dua kamar seharga $12.000. Harga yang sangat murah bahkan jika dibandingkan dengan biaya pemeliharaan bulanan rumah Fuscone yang mencapai $90.000. Di rumah itulah Read tinggal bersama istrinya. Sisi melankolisnya, dia ditinggal mati oleh istrinya ketika berumur 50 tahun dan diketahui ia tidak pernah berminat untuk menikah lagi.
Read terbilang berusia lanjut. Ia meninggal dunia dalam usia 94 tahun pada 2014. Tercatat ada 2.813.503 orang Amerika yang meninggal dunia pada tahun yang sama. Namun tidak sampai 4.000 orang yang memiliki harta di atas $8 juta saat meninggal dunia. Read beruntung, dia termasuk di dalamnya.
Di surat wasiatnya, Read yang bersahaja mewariskan tak kurang $2 juta kepada anak-anak tirinya dan $6 juta lebih kepada rumah sakit dan perpustakaan setempat. Total ada $8 juta yang diwariskannya. Jika diasumsikan kurs $1 setara Rp14.000, maka tak kurang Rp112 miliar yang diwariskan laki-laki gaek itu. Orang yang mengenal Read tentu kaget, bertanya-tanya, dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu.?
Morgan Housel memberikan jawaban singkat. Menurutnya tidak ada hal yang spesial. Tidak ada rahasia yang ditutupi. Tak ada kemenangan lotre atau warisan besar yang diterima. Read menabung berapa pun yang bisa ia tabung dan menginvestasikan sebagiannya di saham blue chip. Hanya itu. Sama sekali tidak ada strategi yang canggih.
Baca juga: Cepat Kaya, Pelajari Kaidahnya
Mental Kaya VS Mental Miskin
Ronald James Read, simpul Morgan Housel lebih lanjut adalah orang yang sabar, sedang Richard Fuscone adalah orang tamak. Orang sabar sangat mungkin merasa cukup dengan apa yang dimiliki sedang orang tamak sudah pasti tidak akan pernah merasa cukup. Ia justru gelisah dengan apa yang tidak dimiliki dan pada saat bersamaan ia tidak merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Dari sini sejarah ketamakan bermula.
Untuk memahami mengapa Richard Fuscone dan orang yang semisal dengannya terjebak pada utang, kita tidak perlu belajar mengenai suku bunga dengan semua teorinya. Kita hanya perlu belajar sejarah ketamakan, kegelisahan, dan optimisme. Ketamakankah yang menjerumuskan Fuscone ke jurang kehancuran finansial dan optimismelah yang mendorong Read bersusah payah menabung sen demi sen sembari menginvestasikan sebagiannya ke saham blue chip hingga ketika meninggal dunia ia mewariskan tak kurang $8 juta. Sebuah angka yang sulit diraih, terlebih saat krisis ekonomi melanda.
0 comments:
Posting Komentar