Senin, 31 Juli 2023

REVIEW BUKU ATOMIC HABITS



Deskripsi Ringkas Atomic Habits
Dalam versi Bahasa Inggris, judul lengkap buku James Clear ini adalah Atomic Habits: an Easy & Proven Way to Build Good Habits & Break Bad Ones Tiny Changes, Remarkable Results. Panjang kan? Diterbitkan pertama kali pada tahun 2018 oleh Penguin Publishing Group, divisi penerbitan dari Penguin Random House LLC.

Buku ini kemudian dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Alex Tri Kantjono Widodo dan diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama pada September 2019 dengan judul besar Atomic Habits. Hingga Juni 2023 buku seharga Rp 108.000 ini telah naik cetak sebanyak 34 kali dan terjual lebih dari 100 ribu eksemplar di Indonesia.

Selain print edition dengan 342 halaman dan bersampul putih, Atomic Habits juga hadir dalam versi digital, diperuntukkan khusus bagi individu yang tidak mau ribet. Membaca buku menjadi fleksibel, bisa di mana saja dan kapan saja, bahkan saat mati lampu sekalipun. Asal batre gadget belum mampus, membaca tetap bisa dilakukan.

Tentang Penulis
James Clear merupakan penulis sekaligus penceramah dengan jam terbang yang tinggi megenai kebiasaan, pembuatan keputusan termasuk juga perbaikan yang berkelanjutan. Selama ini, karya-karyanya banyak dimuat dalam Time, The New York Times, Intrepreneur, Forbes, dan tak ketinggalan CBS This Morning. Situs webnya, jamesclear.com mendapatkan kunjungan hingga jutaan orang setiap bulannya, bahkan ratusan ribu di antaranya rela berlangganan email newsletter-nya yang menggugah.

Selain itu, Clear menjadi pembicara reguler pada perusahaan-perusahaan Fortune 500 dan karya-karyanya dimanfaatkan oleh tim-tim populer seperti NBA, NFL, dan juga MLB. Melalui The Habits Academy, sebuah lembaga kursus online-nya, Clear telah membantu lebih dari 10 ribu guru, pemimpin, pelatih, dan manajer. Untuk diketahui The Habits Academy merupakan platform pelatihan utama bagi individu-individu dan organisasi yang berminat membangun kebiasan-kebiasaan yang lebih baik dalam dunia kerja secara khusus dan dalam kehidupan sehari-hari secara umum.

Clear juga ternyata sosok atlet angkat berat dan juru foto profesional. Hingga kini ia tinggal di Columbus, Ohio bersama keluarga kecilnya.



Yang Jarang Orang Ketahui Tentang Buku Atomic Habits
Buku Atomic Habits bukanlah buku yang ditulis dalam satu waktu yang singkat. Bahkan pada awalnya tidak dimaksudkan sebagai buku panduan. Cikal bakalnya dapat dirunut hingga November 2012. Kala itu Clear, melalui jamesclear.com mulai memposting artikel-artikelnya mengenai pengalaman-pengalaman pribadinya, terkhusus yang berkenaan dengan kebiasaan-kebiasan. Ia mempoting artikelnya dua kali sepekan, yakni pada hari Senin dan Kamis. Hanya dalam beberapa bulan saja, kebiasaan yang diakuinya sederhana itu berhasil menggaet seribu email pertama, dan pada akhir 2013 angka itu merangkak naik menjadi lebih dari 30 ribu orang.

Pada 2014, daftar email-nya berkembang pesat hingga seratus ribuan pelanggan. Praktis ini menjadikannya sebagai salah satu newsletter dengan pertumbuhan yang paling cepat di dunia maya. Diakuinya bahwa ia merasa seolah menjadi pembual sejati selama dua tahun pertama dan tiba-tiba ia dikenal sebagai pakar dalam hal-hal yang berkenaan dengan kebiasaan. Ia merasa senang dengan fakta itu sekaligus membuatnya tidak nyaman. Dengan rendah hati ia tidak pernah memposisikan diri sebagai pakar dalam topik-topik mengenai kebiasaan, melainkan sekedar orang yang senang bereskperimen bersama dengan para pembacanya.

Pada 2015, Clear berhasil meraih 200 ratusan pelanggan email dan menandatangani kontrak penulisan dan penerbitan buku dengan Penguin Random House. Pada tahun ini juga ia banyak diminta berceramah pada beberapa perusahaan terkemuka mengenai pembentukan kebiasaan, perubahan perilaku, dan perbaikan yang berkesinambungan.

Berlajut pada tahun 2016. Artikel-artikelnya mulai dimuat secara teratur di Time, Intrepreneur, dan Forbes. Diperkirakan ada sekitar 8 jutaan orang yang membaca tulisannya pada tahun ini. Para pelatih di NFL, NBA, dan MLB menjadi pembaca setianya yang dengan senang hati membagi apa yang dibacanya kepada tim-tim mereka.

Pada awal 2017, ia mendirikan Habits Academy, yang menjadi ujung tombak pelatihan perdana bagi berbagai organisasi dan individu. Lebih dari 10 ribu pemimpin, manajer, pelatih, dan guru telah mengikuti pelatihan Habits Academy.

Dan pada 2018, saat buku Atomic Habits diterbitkan untuk pertama kalinya, jamesclear.com telah dikunjungi oleh jutaan orang setiap bulannya dan hampir 500 ribu orang menjadi pelanggan emal newsletter-nya. Jumlah ini sebetulnya di luar espektasi Clear sendiri, karena jangankan membayangkan menjadi pakar kebiasaan, memperoleh jutaan pembaca aktif web dan 500 ribuan pelanggan emal newsletter saja tidak pernah terbetik di benaknya.

Meski akhirnya menjadi penulis dan motivator terbaik mengenai habits, Clear pada sebagian besar awal hidupnya, seperti ia akui sendiri, ternyata tidak pernah memandang dirinya sebagai seorang penulis. Bahkan seperti yang dututurkannya, ia justru tidak memulai berkarya sebagai seorang penulis, melainkan ia menjadi penulis karena kebiasaan.

Baca juga: Review buku 21 Pelajaran untuk Abad Ke-21

Apa itu Atomic Habits?
Kebiasaan merupakan rutinitas atau perilaku yang dijalankan oleh seseorang secara teratur dan dalam banyak kasus, terjadi secara otomatis dan spontan. Pada sisi-sisi tertentu ini dapat disamakan dengan akhlak dalam khazanah Islam.

Perubahan-perubahan yang tampak kecil dan remeh lambat laun akan memberikan hasil yang menakjubkan bila saja seseorang bersedia menjalani setiap prosesnya bertahun-tahun lamanya. Karenanya, sukses dalam ranah apa pun merupakan produk langsung dari kebiasaan sehari-hari yang dijalani secara konsisten, alih-alih merupakan transformasi yang terjadi sekaligus dalam semalam.

Di saat seseorang merasa kesulitan untuk merubah kebiasaan tertentu, masalah utamanya bukan terletak pada diri orang itu. Pertama-tama yang harus dicurigai adalah bangunan sistemnya. Kebiasan buruk yang berulang terus menerus bukan disebabkan oleh pribadi seorang individu yang tidak menghendaki perubahan, melainkan karena ia memiliki sistem yang keliru untuk melakukan perubahan nyata.

Berkonsentrasi pada keseluruhan sistem, bukan pada sasaran yang tunggal, merupakan tema pokok buku Atomic Habits. Atomic habits merujuk pada suatu perubahan yang sangat kecil, peralihan yang sangat remeh, atau secara prosentase atomic habits adalah perbaikan yang hanya sebesar 1%. Namun perlu dicatat bahwa atomic habits bukan hanya soal kebiasan-kebiasaan lama mana pun, kendati ukurannya kecil. Atomic habits merupakan kebiasaan-kebiasaan kecil yang merupakan bagian dari sebuah sistem yang lebih besar. Persis seperti butiran-butiran atom yang membentuk molekul, atomic habits adalah unsur materi pembentuk hasil-hasil yang luar biasa.

Kebiasaan-kebiasaan tak ubahnya seperti atom dalam hidup kita. Tiap-tiap perubahan merupakan satuan elementer yang turut serta membentuk perbaikan secara keseluruhan. Pada awal mulanya, rutinitas kecil yang terkesan tidak bermakna, namun seiring berjalannya waktu akan saling membangun satu sama lain hingga akhirnya menjadi bahan bakar untuk kemenangan-kemenangan lebih besar yang berlipat-lipat sampai pada tingkatan yang jauh lebih besar dari biaya investasi awal yang dikeluarkan.

Inilah evolusi yang bertahap itu. Faktanya, kita tidak berubah dalam sejap dan langsung berubah menjadi sosok yang sama sekali baru. Kita berubah sedikit demi sedikit, hari demi hari, dari satu kebiasaan ke kebiasaan lainnya. Kita terus mengalami evolusi mikro diri.

Ringkasnya, atomic habits itu sangat kecil sekaligus sangat besar.



Lapis-Lapis Perubahan Perilaku
Alasan mengapa merubah kebiasaan menjadi teramat sulit kita lakukan disebabkan oleh dua hal saja: Pertama, kita berusaha merubah sesuatu namun ternyata salah sasaran, dan Kedua, kita berusaha merubah kebiasaan dengan cara yang tidak tepat.

Menyangkut sebab yang pertama, Clear memperkenalkan apa yang diistilahkan dengan tiga lapis perubahan perilaku yang terdiri dari lapis hasil, lapis proses, dan lapis identitas.

Lapisan pertama merubah hasil. Lapisan ini erat kaitannya dengan mengubah hasil, seperti menurunkan berat badan, memenangkan suatu kejuaraan, menerbitkan sebuah buku dan sebagainya. Umumnya sasaran yang ditetapkan berkaitan dengan lapisan perubahan ini.

Lapisan kedua merubah proses. Lapisan ini berhubungan dengan mengubah kebiasaan termasuk juga sistem, seperti menerapkan rutinitas yang baru di tempat kerja, merapikan meja kerja agar aliran kerja menjadi lebih baik atau mengembangkan suatu latihan meditasi. Kebanyakan kebiasaan yang dibangun berkenaan dengan lapisan kedua ini.

Lapisan ketiga dan ini yang paling dalam adalah merubah identitas. Lapisan ini berkaitan dengan merubah keyakinan secara fundamental. Ini mencakup pandangan dunia yang dianut, citra diri yang dibangun, termasuk juga penilaian diri, baik oleh diri sendiri ataupun orang lain.

Jika hasil merupakan hal-hal yang diperoleh, proses berkenaan dengan apa yang dilakukan, maka identitas berkenaan dengan apa yang diyakini.

Dalam konteks membangun kebiasaan-kebiasaan yang bertahan lama, yakni membangun sistem perbaikan 1%, masalah utamanya tidak mengarah pada satu lapisan yang lebih baik atau lebh jelek daripada lapisan yang lain. Prinsipnya, semua tingkat perubahan berguna dengan caranya sendiri-sendiri.

Masalahnya ada pada arah perubahan.

Kebanyakan individu memulai suatu proses pengubahan kebiasaan dengan berfokus hanya pada apa yang ingin mereka raih. Ini kemudian mengantar ke kebiasaan yang berbasis pada hasil. Alternatif yang dipandang paling relevan ialah membangun kebiasaan yang berbasis pada identitas tertentu. Dengan pendekatan terakhir ini, perhatian kita terfokus pada diri kita sendiri sebenarnya ingin menjadi sosok seperti apa.

Merubah kebiasaan akan sulit jika kita tidak pernah berupaya merubah keyakinan mendasar yang menjadi pengantar ke perilaku lama. Seringkali kita memiliki sasaran sekaligus rencana mencapai sasaran, namun kita lupa mengubah siapa sebenarnya kita. Mengubah siapa diri kita menyangkut citra diri atau persepsi diri atau identitas diri yang mau dibangun.

Kaidah umumnya adalah semakin bangga kita dengan aspek tertentu dalam identitas kita, maka kita akan semakin termotivasi untuk mempertahankan kebiasan-kebiasaan yang terkait dengannya.

Perilaku kita adalah cerminan identitas diri kita. Hal-hal yang kita kerjakan menunjukkan tipe kepribadian yang kita yakini. Misal, jika kita meyakini diri kita bodoh, maka dengan sendirinya kita berucap dan bertingkah laku yang sesuai dengan keyakinan itu. Ucapan dan perbuatan seolah memvalidasi identitas diri yang kita yakini. Itu sebabnya perubahan perilaku merupakan perubahan identitas itu sendiri. Fakta ini didukung oleh berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa begitu seorang individu meyakini aspek-aspek tertentu dari identitas mereka, maka mereka secara alami akan lebih mudah bertindak selaras dengan keyakinan itu.

Kebiasaan kita, dengan demikian tergantung pada bagaimana kita mewujudkan idetitas kita. Ketika kita merapikan tempat tidur kita atau tempat kerja kita setiap hari misalnya, maka kita sebetulnya tengah mewujudkan identitas diri sebagai orang yang terorganisasi. Saat kita membiasakan menulis setiap hari, walau satu paragraf misalnya, berarti kita tengah mewujudkan identitas sebagai orang yang kreatif. Dan ketika kita berupaya berolah raga setiap pagi, maka kita tengah mewujudkan identitas seorang yang atletis.

Semakin sering kita mengulang suatu perilaku, maka semakin sering juga kita memperkuat identitas yang berkenaan dengan perilaku itu. Faktanya, term identitas pada awalnya diturunkan dari akar kata essentitas dalam bahasa Latin yang bermakna ada. Sedang identidem mengarah pada makna berulang. Dengan begitu, identitas secara lughawi berarti ada yang diulang secara terus menerus dan sedikit demi sedikit.

Plus Minus Buku Atomic Habits
Setiap buku pasti memiliki plus minusnya sendiri. Bahkan terhadap buku yang ditulis dengan sangat seruis oleh penulis kawakan, dengan referensi yang melimpah, didasarkan pada hasil research mutakhir, dan dengan durasi waktu yang panjang sekalipun.

Buku tetaplah buku. Ia akan memberikan manfaat jika dibaca dan berupaya mempraktikkan isinya. Yang baik diambil, yang buruk dibuang. Tanpa itu buku akan kehilangan substansinya.

Salam literasi.......

Reviewer: Rusdan, bukan siapa-siapa.
Share:

KE MANA REVOLUSI INDUSTRI 5.0 MEMBAWA KITA?



Kini kita telah memasuki era revolusi teknologi yang menghentak. Segalanya berubah begitu cepat. Apa yang kita pikir mustahil lima enam tahun yang lalu kini menjadi hal yang lumrah. Apa yang terasa sulit lima enam tahun yang lalu kini terasa mudah. Mungkin juga berlaku sebaliknya. Semua sendi kehidupan kita berubah. Kebiasaan-kebiasaan kita berubah. Cara pandang kita terhadap diri dan selain diri kita berubah. Motivasi dan orientasi hidup kita juga ikutan berubah atau setidak-tidaknya menyesuaikan diri dengan kondisi. Begitu cepat dan masifnya perubahan-perubahan itu sampai-sampai sebagian kita merasa tidak relevan lagi.

CRYPTO CURRENCY

Sepuluh lima belas tahun yang lalu, kita hanya mengenal dua jenis mata uang, kertas dan logam. Jika ada bentuk lainnya pasti terkait dan tidak dapat dilepaskan dari keduanya. Uang digital misalnya, ia selalu terkait dengan dua jenis mata uang tersebut. Kita juga tahu bahwa kedua jenis mata uang tersebut diterbitkan, diedarkan, dan dikontrol secara terpusat oleh lembaga resmi negara. Swasta tidak diberikan ruang.

Namun di era revolusi industri 50. 0, sistem keuangan melahirkan revulusi blockchain, kita mengenal bentuk dan jenis mata uang lainnya. Kita menyebutnya dengan mata uang kripto (crypto currency). Bitcoin (BTC), Ethereum (ETH) dan Dogecoin adalah contoh mata uang jenis ini.

Mata uang kripto sebetulnya adalah aset digital yang dirancang untuk bekerja sebagai media pertukaran menggunakan kriptografi yang kuat untuk mengamankan berbagai transaksi keuangan, mengontrol penciptaan unit tambahan, sekaligus memverifikasi transfer aset itu sendiri.

Sejauh ini, peredaran mata uang kripto tidak dikendalikan oleh suatu lembaga bank atau perusahaan tertentu, namun dengan server yang terpencar. Dengan begitu, sifat mata uang kripto adalah desentralisasi yang berarti tidak ada satu pun pihak yang menjadi perantara saat transaksi dilakukan. Ini sisi unik yang membedakannya dengan uang konvensional.

Mata uang kripto tidak berbentuk fisik seperti uang kertas atau logam dan letaknya ada di jejaring internet. Mata uang kripto disimpan dalam sebuah jaringan yang disebut jaringan blockchain. Blockchain bagi uang kripto adalah sistem yang mengatur dan mengelola data transaksi mata uang digital yang tidak dikelola oleh pihak ketiga seperti bank. Yang mengelolanya adalah penggunanya sendiri.

Baca juga: Seberapa Penting Memiliki Perpustakaan Keluarga


 

PERUBAHAN PARADIGMA VALUASI ASET

Era revolusi industri 5.0 ini juga ditandai dengan perubahan paradigma terhadap valuasi aset (asset valuation). Valuasi aset korporasi tidak hanya diukur dari seberapa banyak aset riel yang dimiliki. Dalam banyak kasus ia ditentukan oleh jejaring informasi yang dibentuk. Dan itu bisa saja tampak pada sebuah Apps yang dikembangkan. Pihak-pihak yang terlibat dalam jejaring tersebut sangat mungkin tidak saling kenal. Namun yang pasti mereka diikat oleh satu sistem yang sama. Konfigurasinya bisa jadi sangat dinamis.

GOTO, Perusahaan gabungan Gojek dan Tokopedia bisa kita jadikan contoh tentang perubahan dalam mengukur valuasi aset korporasi. Merujuk pada laporan keuangan per September 2022 saja, perusahaan ini memiliki total aset Rp 154,79 triliun. Nilai ini terdiri atas aset lancar sejumlah Rp 35,45 triliun dan aset tidak lancar mencapai Rp 119,33 triliun. Ini belum termasuk aset tak berwujud atau sering diistilahkan dengan goodwill yang mencapai Rp 93,83 triliun. GOTO yang kita tahu hanyalah sebuah Apps dengan aset riel yang kecil. Aset GOTO terletak pada ekosistem yang dibangun, semisal pengguna aktif yang berjumlah 55 jutaan orang, 9.287 karyawan, dan tak terkecuali Apps itu sendiri.

Bandingkan misalnya dengan PT PLN (Persero), perusahaan plat merah yang menjangkau sebagian besar Indonesia, beroperasi puluhan tahun, dan bisa dikatakan menjadi satu-satunya pemain di kelasnya. Ternyata total aset yang dimilikinya dibawah GOTO, kisarannya paling Rp 100-an triliun.

Bandingkan juga dengan Bluebird. Hingga kuartal pertama 2023, total asetnya baru mencapai angka Rp 7,05 triliun jauh dibawah aset GOTO. Padahal Bluebird beroperasi di 18 kota besar di Indonesia, didukung oleh 20 ribuan armada, 23 ribuan karyawan dan 54 depo yang tersebar secara nasional.
 

Baca juga: Menguak Pesona Polymath Muslim


BAGAIMANA DENGAN KEBUTUHAN DASAR KITA?
Sejauh ini, hingga memasuki era revolusi industri 5.0, belum ada kesepakatan mengenai definisi dan batasan kebutuhan dasar manusia. Biasanya kita mengaggap terpenuhinya sandang, pangan, dan papan sebagai kebutuhan dasar manusia. Selebihnya adalah kemewahan. Dari sudut pandang biologis murni, setiap individu membutuhkan 1.500-2.500 kalori setiap harinya. Lebih dari itu termasuk kemewahan.

Di atas kemiskinan biologis itu, setiap kebudayaan dalam rentang sejarah telah menetapkan beberapa jenis kebutuhan lain ke dalam kebutuhan dasar manusia. Di Eropa abad pertengahan misalnya, akses ke Gereja dipandang lebih penting daripada makanan. Ini karena gereja mengurus jiwa yang abadi, alih-alih raga yang fana. Saat ini telah terjadi perubahan cara pandang akan kebutuhan dasar itu. Pendidikan dan layanan kesehatan yang layak dipandang sebagai kebutuhan dasar manusia.

Sementara merujuk pada teori hirarki kebutuhan yang digagas Abraham Maslow, setiap orang diasumsikan memiliki lima kebutuhan dasar yang membentuk hirarki, mulai dari tingkat yang paling bawah hingga tingkat paling atas, yakni mulai dari kebutuhan fisiologis (physiological needs), rasa aman (safety/security needs), sosial (social needs), harga diri (esteem needs), hingga kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs).

Maslow menegaskan satu hipotesis penting bahwa setelah seseorang memuaskan kebutuhan pada tingkatan yang paling bawah, maka secara otomatis orang tersebut akan berupaya memuaskan kebutuhan pada tingkatan yang lebih tinggi. Namun jika pada tingkat tertinggi kebutuhan dasar tersebut ternyata tidak terpuaskan, maka orang dapat kembali pada tingkat kebutuhan yang lebih rendah sebelumnya. Begitu seterusnya.

Lebih lanjut, Maslow mencatat bahwa pemuasan berbagai kebutuhan tersebut didorong oleh dua kekuatan yang saling terkait, yakni motivasi kekurangan (deficiency motivation) di satu sisi dan motivasi perkembangan (growth motivation) di sisi lainnya. Motivasi kekurangan (deficiency motivation) bertujuan untuk mengatasi masalah ketegangan manusia karena berbagai kekurangan yang ada. Sementara motivasi pertumbuhan (growth motivation) didasarkan pada kapasitas setiap manusia untuk tumbuh dan berkembang. Kapasitas tersebut merupakan pembawaan alami dari setiap manusia.

Kebutuhan dasar adalah hal yang mesti terlebih dahulu dipenuhi agar manusia dapat bertahan hidup dan sekaligus melanjutkan hidupnya. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan manusia yang paling dasar dan sifatnya primordial. Kebutuhan jenis ini mencakup kebutuhan makan, minum, tidur, seksual, dan kebutuhan fisik lainnya.

Di atas kebutuhan fisiologis ada kebutuhan akan rasa aman. Untuk melangkah ke tingkatan selanjutnya, setiap individu harus memenuhi kebutuhan pada tingkatan ini. Maslow menguraikan bahwa kebutuhan akan rasa aman meliputi rasa aman, baik secara fisik terlebih lagi secara emosional. Kebutuhan pada tingkatan ini sangat bergantung pada rentang usia individu tersebut.

Kebutuhan dasar manusia berikutnya adalah kebutuhan sosial. Yang masuk dalam kategori ini adalah rasa cinta, kasih sayang, serta hak kepemilikan. Di tingkat kebutuhan ini, seorang individu mutlak membutuhkan cinta, kasih sayang, dan memiliki hak kepemilikan terhadap suatu hal. Kecuali itu, seorang individu bisa juga mendapatkan kebutuhan pada tingkatan ini dengan jalan menjalin persahabatan dengan individu lainnya, membentuk ikatan keluarga, bersosialisasi dengan suatu kelompok tertentu, beradaptasi dengan lingkungan sekitar, dan termasuk juga dengan melebur diri dalam suatu lingkungan masyarakat.

Berikutnya adalah kebutuhan mendapatkan penghargaan. Bagi Maslow penghargaan itu ialah harga diri itu sendiri. Dalam ranah ini, setiap individu berhak mendapatkan harga diri mereka masing masing sebagaimana orang-orang pada umumnya. Harga diri dapat saja berasal dari diri sendiri maupun orang lain. Dalam catatan Maslow, harga diri dibagi menjadi dua bagian integratif, yakni bentuk menghargai diri sendiri dan bentuk penghargaan yang diperoleh dari orang lain.

Kebutuhan yang paling akhir sekaligus yang paling tinggi adalah kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Kebutuhan ini hanya dapat diraih apabila seorang individu berhasil memenuhi keempat kebutuhan dasar sebelumnya. Aktualisasi diri dapat dimaknai sebagai wujud sesungguhnya yang mencerminkan harapan serta keinginan seorang individu terhadap dirinya sendiri. Dalam pandangan Maslow, kebutuhan akan aktualisasi diri ini berperan signifikan sebagai kebutuhan seorang individu untuk memutuskan keinginan mereka sendiri.

Sepanjang hayatnya setiap individu pasti membutuhkan kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut. Namun seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat mungkin terjadi pergeseran di sana sini. Saat ini, akses internet menjadi kebutuhan dasar manusia mengalahkan kebutuhan dasar lainnya. Orang akan merasa aman dan nyaman meski tidak memiliki beras pada suatu hari, namun justru ia akan merasa kurang nyaman jika sehari saja tanpa akses internet. Orang bisa saja bersedia melakukan perjalanan walau tanpa membawa dompet yang penuh berisi uang, namun ia akan merasa resah dan kehilangan jika terlupa membawa gawai cerdasnya.

Di masa sebelumnya, kebutuhan dasar yang berkenaan dengan pendidikan terbatas pada keterampilan membaca dan menulis. Saat ini, kebutuhan itu bisa bertambah menjadi kemampuan menulis kode komputer, membuat konten You Yube, Tik Tok, mengoperasikan kamera digital, dan sebagainya.

Di bidang kesehatan, kebutuhan dasar juga bisa bergeser dari sekedar mendapatkan layanan kesehatan yang layak ke bentuk layanan yang lebih tinggi semisal operasi plastik atau bentuk-bentuk rekayasa biologis yang lebih canggih lainnya.




KITA HIDUP DI PERTEMUAN DUA REVOLUSI AKBAR
Pada masa revolusi industri 5.0 ini, secara spesifik kita berada pada pertemuan dua revolusi akbar yang mencengangkan, yakni revolusi teknologi informasi dan bioteknologi. Di satu sisi, para ahli biologi berupaya mengungkap misteri tubuh kita, khususnya otak dan perasaan kita. Dan pada waktu bersamaan, ahli-ahli komputer memberi kita daya pengolahan data yang belum pernah ada sebelumnya.

Saat revolusi bioteknologi berpadu dengan revolusi teknologi informasi, maka perpaduan itu akan menghasilkan algoritma mahadata yang dapat memantau dan memahami perasaan kita, yang harus kita terima, ternyata lebih baik daripada kita sendiri. Oleh karenanya, otoritas sangat mungkin akan bergeser dari manusia ke komputer.

Di bidang kedokteran ini sudah terjadi, di mana keputusan-keputusan medis paling penting dalam hidup kita tidak lagi didasarkan pada rasa sakit atau sehat atau bahkan diagnosa dokter, melainkan pada perhitungan komputer yang memahami tubuh kita lebih baik daripada kita sendiri. Dalam beberapa dasawarsa ke depan, algoritma mahadata yang menerima aliran data biometrik terus-menerus dapat memantau kesehatan kita sepanjang 24 jam dalam seminggu. Algoritma dapat mendeteksi sejak dini awal penyakit influenza, kanker, atau alzheimer jauh sebelum kita merasa ada yang yang salah dengan tubuh kita. Berikutnya, algoritma dapat menyarankan penanganan yang tepat, diet dan rutinitas harian yang disesuaikan dengan fisik, DNA, dan kepribadian kita yang unik.

Bahkan lebih dari itu, revolusi ganda di bidang teknologi informasi dan bioteknologi dapat merombak tidak hanya ekonomi dan masyarakat, melainkan juga jiwa dan raga kita. Di masa sebelumnya, manusia telah mempelajari secara seksama bagaimana mengendalikan dunia di luar dirinya, namun sedikit sekali yang memiliki kendali atas dunia di dalam dirinya sendiri. Sejauh ini kita tahu bagaimana membangun gedung pencakar langit atau membendung aliran sungai, akan tetapi kita tidak tahu bagaimana menghentikan penuaan pada tubuh kita. Kta tahu bagaimana merancang sistem irigasi, tetapi kita malah tidak tahu bagaimana merancang otak. Jika sesekor nyamuk mengganggu tidur kita misalnya, kita tahu bagaimana membunuh nyamuk itu. Namun anehnya saat kita tidak bisa tidur karena pikiran, kita justru tidak tahu bagaimana menghentikan pikiran itu.

Dan kini, selangkah lagi, revolusi di bidang bioteknologi dan teknologi informasi akan memberikan kita kendali, meski belum sepenuhnya, atas dunia di dalam diri kita sendiri sekaligus memungkinkan kita untuk merekayasa dan memfabrikasi kehidupan. Kita akan belajar bagaimana merancang otak, memperpanjang usia, dan membunuh pemikiran semau kita.

Di masa yang akan datang, bioteknologi dan teknologi informasi akan memberi kita kemampuan untuk memanipulasi dunia di dalam diri kita dan sekaligus membentuk kembali diri kita. Namun, karena kita tidak memahami dengan baik kompleksitas pikiran kita sendiri, perubahan yang kita buat boleh jadi justru akan mengacaukan sistem mental kita sedemikian rupa sehingga pikiran kita juga tidak dapat berfungsi lagi. Ini problem peliknya.

ARTIFICIAL INTELLIGENCE VERSUS KECERDASAN MANUSIA

Tantangan lain yang dihadapi manusia pada era revolusi industri 5.0 berikutnya adalah bersaing dengan mesin dalam memperebutkan lapangan kerja. Mesin sebetulnya bukan barang baru. Ia sudah hadir meringankan berbagai beban pekerjaan manusia. Mesin mengambil beberapa pekerjaan berat yang relatif sulit dikerjakan manusia. Namun ke depan mesin akan bekerja jauh berbeda dengan masa sebelumnya.

Selama ini, terutama sejak awal revolusi industri, untuk setiap pekerjaan yang hilang karena kehadiran mesin, setidaknya tercipta minimal satu pekerjaan baru. Dan ini berdampak pada standar hidup rata-rata yang meningkat secara dramatis. Namun, ada juga alasan-alasan yang masuk akal yang menunjukkan fakta lain bahwa kali ini situasinya berbeda jauh, dan pembelajaran mesin akan benar-benar menjadi pengubah peta permainan.

Para ahli telah memetakan dua tipe kemampuan unik yang dimiliki manusia, yakni fisik dan kognitif. Di masa sebelumnya, mesin bersaing dengan manusia semata-mata dalam hal kemampuan fisik. Sedang dalam hal kognisi manusia tetap lebih unggul daripada mesin. Itu sebabnya, selagi pekerjaan kasar di bidang pertanian dan industri diautomatisasi, maka dengan sendirinya akan muncul pekerjaan dan jasa baru yang membutuhkan jenis kemampuan kognitif yang hanya dimiliki oleh manusia berupa: mempelajari, menganalisis, mengomunikasikan, dan tentu saja yang paling unggul adalah memahami emosi manusia. Namun saat ini, kecerdasan buatan (artificial intelligence) mulai melampaui manusia dalam beragam keahlian, termasuk dalam memahami emosi manusia. Kita tidak tahu apakah ada bidang kegiatan ketiga, selain fisik dan kognisi, di mana manusia akan selalu memiliki keunggulan yang pasti atas mesin.

Perlu digarisbawahi bahwa revolusi kecerdasan buatan bukan sekedar komputer lebih cepat dan pintar. Revolusi itu digerakkan oleh terobosan-terobosan dalam ilmu hayati dan juga ilmu sosial. Semakin baik kita memahami mekanisme biokimia yang mendasari emosi, hasrat, dan pilihan manusia, maka semakin baik pula komputer dalam menganalisis perilaku manusia, memprediksi keputusan manusia, serta menggantikan pengemudi, bankir, dan pengacara.

Satu catatan menarik bahwa segala pilihan kita, mulai dari urusan makanan sampai pasangan, konon bukanlah hasil dari kehendak bebas yang misterius, melainkan hasil dari miliaran sel-sel saraf yang menghitung probabilitas dalam sekejap. Intuisi manusia sebetulnya merupakan pengenalan pola-pola tertentu. Sopir, bankir, dan pengacara hebat tidak memiliki intuisi ajaib mengenai lalu lintas, investasi, atau negosiasi. Dengan mengenali pola-pola berulang, mereka melihat dan mencoba menghindari pejalan kaki yang ceroboh, peminjam uang yang payah, dan penipu yang licik. Faktanya, algoritma biokimia otak kita juga jauh dari kata sempurna. Apa yang kita andalkan sebetulnya adalah heuristik, jalan pintas, dan sirkuit kadaluarsa yang beradaptasi dengan berbagai keadaan.

Jadi, bila emosi dan hasrat hanyalah algoritma biokimia, maka tidak ada alasan bagi komputer untuk tidak mengetahui rahasia algoritmanya, untuk selanjutnya melakukannya jauh lebih baik daripada manusia.

Sopir yang memperkirakan pergerakan pejalan kaki, bankir yang mengukur kredibilitas calon debitur, dan pengacara yang menebak suasana di meja perundingan, mereka sama sekali tidak mengandalkan sihir. Tanpa mereka sadari, sebetulnya otak mereka mengenali pola-pola biokimia dengan menganalisis ekspresi wajah, nada suara, gerak tangan, bahkan bau badan. Kecerdasan buatan yang dilengkapi sensor-sensor yang tepat dapat melakukan semua itu jauh lebih akurat dan andal daripada manusia.

Kecerdasan buatan bukan hanya siap meretas manusia dan mengalahkannya dalam hal-hal yang sebelumnya dianggap sebagai keahlian khas manusia. Kecerdasan buatan juga memiliki kemampuan khas yang bersifat non-manusia; yang kemudian membuat perbedaan yang mencolok antara kecerdasan buatan dan kerja manusia adaah soal jenisnya, bukan semata-mata kadarnya. Dua kemampuan penting non-manusia yang dimiliki oleh kecerdasan buatan adalah konektivitas dan kemampuan memperbaharui.

Karena bersifat individual, sulit untuk menghubungkan antara satu manusia dengan yang lainnya sembari memastikan bahwa semuanya tahu keadaan terkini. Sementara itu, komputer bukanlah individu dan karenanya lebih mudah mengintegrasikannya ke dalam satu jaringan yang fleksibel. Jadi, yang kita hadapi bukanlah penggantian jutaan individu pekerja manusia oleh jutaan individu robot dan komputer. Individu-individu manusia sangat mungkin digantikan oleh satu jaringan yang terintegrasi. Karenanya, ketika mempertimbangkan automasi, sangat keliru bila kita justru membandingkan kemampuan seorang supir dengan satu mobil swakemudi (self driving car) atau seorang dokter manusia dengan satu dokter kecerdasan buatan. Kita justru harus membandingkan kemampuan sekumpulan individu manusia dan kemampuan satu jaringan yang terintegrasi.



APAKAH MANUSIA AKAN SEGERA KEHILANGAN PEKERJAAN?

Meski banyak pekerjaan tradisional dalam segala bidang, mulai dari bidang seni hingga layanan kesehatan akan hilang tidak lama lagi. Namun kabar baiknya, semua itu akan segera diimbangi dengan penciptaan lapangan pekerjaan baru bagi manusia. Dokter umum yang memusatkan perhatiannya dalam mendiagnosis penyakit umum dan memberi penanganan standar barangkali akan tergantikan oleh dokter kecerdasan buatan. Namun justru, karena itulah, akan jauh lebih banyak uang yang dibutuhkan untuk membayar dokter manusia dan asisten laboratorium untuk melakukan riset dan mengembangkan obat atau prosedur bedah baru.

Kecerdasan buatan boleh jadi membantu menciptakan pekerjaan baru untuk manusia dengan cara lain. Alih-alih bersaing dengan kecerdasan buatan, manusia bisa lebih fokus dalam membantu dan meningkatkan kecerdasan buatan. Namun, masalahnya, semua pekerjaan baru tersebut menuntut keahlian yang tinggi dan karenanya tidak akan menyelesaikan masalah pengangguran pada semua kondisi. Tenaga kerja tanpa keahlian akan hilang dengan sendirinya.

Disarikan dari beberapa bab Buku 21 Lessons for the 21st Century karya Yuval Noah Harari.


Share:

MASALAH DAN PENYELESAIANNYA


Berbeda dengan paham/aliran empirisme yang mengandalkan persepsi indrawi atau pengamatan indrawi sebagai titik awal perkembangan sains, Karl R. Popper dalam buku All Life is Problem Solving justru menekankan bahwa sains, baik itu ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial selalu bermula dari suatu masalah. Masalah ini kemudian dicoba dicarikan berbagai solusi penyelesaian yang relevan dan efektif. Solusi penyelesaian yang dicoba bisa saja tunggal bisa juga beragam. Pada tahap ini trial and error dijalani. Jika solusi penyelesaian yang dicoba tidak punya alternatif lain dan dipandang relevan dan efektif, maka masalah dipandang telah menemukan jalan keluarnya. Namun jika solusi penyelesaian yang dicoba ternyata beragam, maka tahap berikutnya adalah eliminasi atau penghapusan solusi yang tidak berhasil. Atau mugkin saja berhasil namun dipandang tidak efektif dan efesien dibanding solusi lain yang serupa. Sehingga perlu dilakukan eliminasi atau penghapusan yang tidak berhasil.

Baca juga: Menguji Literasi Digital Anda

Ringkasnya, Karl R. Popper sebetulnya hendak menegaskan bahwa belajar melalui trial and error selalu melalui tiga tahap yang ia sebut model tiga tahap, yakni:
1. The problem
2. The attempted solutions, dan
3. The elimination.

Model tiga tahap Karl R. Popper tersebut akan dilihat secara berbeda pada uraian ringkas berikut ini.

Terlepas dari silang pendapat mengenai asal muasal sains di kalangan ahli, namun asumsi bahwa segala sesuatu bermula dari masalah lebih logis dan sesuai dengan fakta yang ada. Dan memang manusia sepanjang sejarahnya selalu berkutat dengan masalah dan masalah, baik saat berhadapan dengan dirinya sendiri maupun dengan hal-hal di luar dirinya. Di sini sangat mungkin berlaku relativitas. Masalah bagi seseorang bisa jadi bagi orang lainnya bukan masalah. Yang dipandang masalah berat bagi seseorang boleh jadi bagi orang lain justru dipandang masalah yang ringan. Begitu juga sebaliknya.

Berpikir bahwa manusia terkotak-kotak secara absolut menjadi orang-orang yang selalu menghadapi masalah bertubi-tubi dan orang-orang yang hidupnya selalu berada pada zona nyaman (comfort zone) jelas merupakan kekeliruan. Faktanya, manusia tidak terkotak-kota secara absolut pada orang yang selalu bahagia dan orang-orang yang selalu susah atau orang-orang yang selalu sedih di satu sisi dan orang-orang yang selalu bahagia di sisi lainnya.

Setiap orang pasti berhadapan dengan berbagai masalah. Suka atau tidak suka. Siap atau tidak siap. Di kala lain ia akan masuk zona nyaman.

Masalah yang dihadapi oleh seseorang berbanding lurus dengan beban tanggungjawabnya. Jika tanggungjawab yang dipikul kecil, maka masalah yang dihadapi juga kecil. Jika skup tanggungjawabnya terbatas pada teritori tertentu, maka secara otomatis skup masalah yang dihadapi juga terbatas pada teritori itu. Intinya, seperti firman Allah SWT. dalam QS. al-Isra’ (17): 84, “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Tidak ada orang yang dibebani lebih dari kapasitas dirinya. Inilah yang kita pahami dari firman Allah SWT., “Allah tidak membebani seseorang dengan suatu masalah melainkan yang sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. al-Baqarah (2): 286).


Baca juga: Menguak Pesona Polymath Muslim


Jadi, apa pun masalah yang dihadapi selalu memiliki jalan keluarnya sendiri-sendiri. Tidak ada masalah yang yang tidak memiliki jalan keluar atau solusi. Tidak ada istilah jalan buntu. Jika ada masalah, maka pasti ada jalan penyelesaiannya. Masalah dan solusi adalah saudara kembar. Itu sebabnya seseorang hanya perlu mencoba berbagai jalan penyelesaian dari masalah yang dihadapi. Ia tidak boleh pasrah dan berpangku tangan. Ia harus proaktif. Karena memang all life is problem solving.

Oleh: Rusdan, bukan siapa-siapa

Share:

CARA CEPAT KAYA, INI RAHASIANYA

 

Dari Abu Hurairah, Nabi SAW. bersabda, “Kaya bukanlah banyaknya harta benda yang dimiliki, akan tetapi kaya adalah kaya hati.” (HR. Bukhari-Muslim).

 

Umumnya kita keliru memahami kaya (rich) dan memiliki kekayaan (wealthy). Dua istilah yang cukup familiar sebetulnya. Namun itu tidak menjamin kita dapat mendudukkan kedua istilah tersebut secara benar. Celakanya kita malah memandang keduanya sama. Padahal ini bukan soal semantik semata. Morgan Housel melalui buku The Psychology of Money mengingatkan bahwa kesalahan memaknai perbedaan keduanya menjadi sumber utama keputusan yang buruk terkait uang.

Kaya (rich) merujuk ke pendapatan sekarang. Saat ini. Seseorang yang mengendarai mobil mewah seharga miliaran rupiah sudah pasti orang kaya, bahkan ketika ia membelinya dengan cara berutang. Tentu saja diperlukan tingkatan pendapatan tertentu agar bisa menanggung cicilan bulanan yang nominalnya tidak sedikit. Ini tidak mudah bagi kebanyakan orang. Begitu juga dengan orang yang memiliki rumah mewah, lengkap dengan berbagai fasilitas pendukung kemewahannya, perhiasan mewah, out fit branded yang harganya tidak jarang di luar nalar. Dalam ukuran manapun ia telah masuk circle orang kaya.

Namun kekayaan (wealthy) soal lain. Ia tersembunyi. Tidak terlihat. Ibarat harta karun, kekayaan adalah pendapatan yang tidak dibelanjakan. Kekayaan adalah pilihan yang belum diambil untuk membeli sesuatu kelak di masa yang akan datang. Nilainya berada di pemberian pilihan, keleluasaan, dan pertumbuhan agar kelak bisa membeli lebih banyak barang daripada yang dapat dibeli sekarang. Kekayaan adalah kenikmatan yang ditunda saat ini demi masa yang akan datang yang tidak menentu.

Kekayaan adalah mobil mewah yang tidak dibeli, intan berlian yang tidak dibeli, arloji super mahal yang tak dikenakan dipergelangan, pakaian branded yang tak dipakai, penerbangan kelas satu yang tidak dinaiki, rumah mewah yang tak ditempati, rekreasi ke luar negeri yang tidak dilakoni dan seterusnya. Kekayaan adalah aset finansial yang belum diubah menjadi barang dan mungkin juga jasa yang bisa dilihat.

Jadi, satu-satunya cara memiliki kekayaan adalah dengan jalan tidak membelanjakan uang yang kita miliki saat ini. Terlebih untuk hal-hal yang tidak penting. Belanja tidak terlarang, tapi harus memperhatikan skala prioritas dan segi kemendesakannya.

Maka, kekayaan adalah kombinasi sinergis antara hemat dan paranoid. Jika gaya hidup hemat sukar dibudayakan, setidaknya kita mesti paranoid dengan masa depan yang serba tidak pasti. Paranoid akan jatuh miskin tanpa penghasilan, tidak bisa hidup layak di masa tua, tidak memiliki cukup uang untuk membayar fasilitas kesehatan, paranoid dengan masa depan pendidikan-sosial-kesehatan anak dan hal-hal ekstrim lainnya dapat mendorong seseorang berupaya menciptakan kekayaannya di saat yang tepat.

Lantas setelah kita mendiskusikan tentang kaya dan kekayaan, pertanyaan pentingnya adalah bagaimana menciptakan kekayaan? Lagi-lagi Morgan Housel memberi arahan ringkas, menabunglah. Ya, menabunglah sen demi sen di bank-bank yang menjamin kita bisa tidur nyenyak. Bila perlu belilah saham perusahaan terpercaya, mungkin blue chip.

Gagasan pentingnya adalah membangun kekayaan tidak banyak hubungannya dengan pendapatan atau hasil investasi. Ia lebih banyak ditentukan oleh tingkat tabungan. Tabungan pribadi yang dikombinasikan dengan gaya hidup sederhana merupakan bagian dari rumus keuangan yang lebih mudah kita kendalikan. Dibandingkan dengan investasi, menabung punya peluang berhasil 100%.

Gagasan penting lainnya adalah tingkat tabungan yang tinggi berarti memiliki pengeluaran yang lebih rendah, dan pengeluaran yang lebih rendah berarti tabungan kita bisa bertahan lebih lama ketimbang kita membelanjakan uang lebih banyak hari ini.

Menabung, pada dasarnya, tidak memerlukan tujuan khusus, semisal untuk membeli rumah, kendaraan baru, biaya pendidikan anak, biaya rekreasi. Kita bisa menabung hanya dengan alasan ingin menabung. Dan memang seharusnya begitu. Menabung saja. Kita tidak butuh alasan canggih untuk memulai menabung.

Baca juga: The Psychology of Money 

Pada dasarnya, menabung adalah proses cerdik memilah antara ego dan pendapatan. Alih-alih kasat mata, kekayaan seperti telah disinggung sebelumnya merupakan sesuatu yang tak kasat mata. Kekayaan diciptakan dengan menekan belanja tidak perlu saat ini agar bisa punya lebih banyak barang/jasa dan pilihan di masa yang akan datang. Catatan pentingnya adalah berapa pun penghasilan kita pada periode tertentu, kita tidak akan pernah bisa membangun kekayaan dengannya kecuali jika kita paksa diri untuk membatasi keasyikan kita dalam membelanjakan pendapatan tersebut saat ini. Ringkasnya, kekayaan yang dengannya kita hidup mandiri di masa yang akan datang hanya mungkin jika saat ini kita menekan segala keinginan membelanjakan pendapatan yang tidak perlu. Ini tidak ada kaitannya dengan besar kecil pendapat. Kuncinya adalah menabung, betapa pun kecilnya pendapatan kita. Akumulasi sesuatu yang kecil dalam rentang waktu yang panjang akan menjadi sesuatu yang besar.

Hemat agar bisa menabung dan paranoid akan melahirkan kemandirian finansial yang tidak dimiliki setiap orang. Kita bisa saja terlibat perdebatan sengit terkait esensi kemandirian finansial. Argumen apa pun yang kita kemukakan, kemandirian finansial tidaklah identik dengan berhenti bekerja. Meski jalan itu terpaksa ditempuh demi meraih kemandirian finansial, terutama bagi yang bekerja di sektor formal yang menekankan relasi satu arah yang kaku, atasan-bawahan. Seseorang bisa saja memilih pensiun dini demi memasuki zona nyaman kemandirian finansial. Namun itu dilakukan atas kemauan sendiri bukan karena sudah seharusnya pensiun. Dalam makna yang luas - saya kira setiap kita memimpikan keadaan ini - kemandirian finansial berarti melakukan pekerjaan yang kita suka bersama dengan orang yang kita sukai pada waktu dan tempat yang kita inginkan, tanpa ada paksaan. Tanpa didekte dengan aturan rigid yang mengikat. Kita bebas melakukan apa pun sebebas tidak melakukannya, bebas melakukan saat ini sebebas melakukannya nanti. Ini terdengar musykil. Tapi itulah kondisi yang pasti kita impikan. Setiap kita pasti memimpikan bisa bangun pagi dengan tenang, menyeruput secangkir kopi yang hangat sembari tetap menjaga keakraban dengan keluarga, mendengar celoteh mereka tanpa diburu waktu. Setelahnya kita bisa memilih pekerjaan yang ingin kita lakukan. Di mana saja, di rumah atau di luar rumah. Sendiri atau ditemani oleh orang lain. Dengan siapa pun, itu tidak terlalu penting. Yang jelas kita bebas, melakukan atau tidak melakukan. Kini, esok dan seterusnya.

Dan bentuk kekayaan tertinggi seperti dicatat Housel adalah berkenaan dengan kemandirian finansial ini. Gambarannya bisa jadi sangat sederhana, yakni mampu bangun di pagi yang cerah dan sumringah berucap, “Saya bisa melakukan apa pun yang saya inginkan hari ini.”

Kemampuan berbuat apa saja yang kita inginkan, kapan saja, di mana saja, dengan siapa saja yang kita inginkan, selama itu bisa kita lakukan, sungguh tak ternilai harganya. Inilah dividen tertinggi yang dapat diberikan uang. Inilah kebahagiaan universal itu, bahwa orang ingin memegang kendali atas hidupnya dan bukan berada di bawah pengendalian orang lain.

Share:

MENTAL KAYA VERSUS MENTAL MISKIN



Pada kata pengantar buku larisnya The Psychology of Money, Morgan Housel, menggariskan satu premis penting bahwa mengelola uang dengan baik sama sekali tidak ada hubungannya dengan kecerdasan seseorang. Ia lebih banyak dipengaruhi oleh perilaku seseorang. Ironisnya, perilaku sangat sulit diajarkan, bahkan kepada orang-orang yang sangat cerdas sekalipun. Artinya, seorang yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, katakanlah genius, berpeluang besar kehilangan kendali atas emosinya yang dapat menjerumuskannya ke bencana keuangan yang memiskinkan dirinya. Sebaliknya, orang biasa tanpa pendidikan finansial yang memadai bisa menjadi orang kaya raya jika mereka memiliki sejumlah keahlian terkait perilaku yang tidak ada hubungannya dengan ukuran kecerdasan finansial.

Richard Fuscone dan Ronald James Read adalah contoh kontras dari premis Morgan tersebut. Kisah keduanya menarik ditelisik.

Si Mental Miskin
Richard Fuscone adalah eksekutif muda pada Merrill Lynch, memperoleh gelar MBA dari kampus bergengsi dunia Harvard University. Setelah melewati fase puncak karir di bidang keuangan pada usia 40-an, secara mengagetkan ia mengajukan pensiun dini dan memilih jalan hidup sebagai filantropis. Banyak orang yang tersentak dengan keputusannya, seorang di antaranya adalah David Komansky, mantan CEO Merrill Lynch. Komansky memuji Fuscone sebagai eksekutif yang memiliki serangkaian keahlian bisnis, kepemimpinan, pertimbangan bagus, dan integritas baik yang layak dibanggakan. Akumulasi soft skill yang jarang dimiliki orang lain. Dan ia meraihnya dalam usia yang terbilang sangat muda, di bawah 40-an. Sehingga wajar jika Crain’s, sebuah majalah bisnis memasukkan dia ke dalam daftar pebisnis sukses “40 dibawah 40.”

Namun dalam perjalan waktu kemudian semuanya ambyar. Alih-alih menjalankan tugas filantropinya dengan tenang, pada 2000-an Fuscone justru terjebak utang. Dia meminjam banyak uang hanya untuk memperluas dan mempermewah rumah 1.600 meter persegi miliknya di Greenwich, Connecticut dengan sebelas kamar mandi, dua lift, dua kolam renang, tujuh buah garasi, dan dia masih harus mengeluarkan biaya pemeliharaan bulanan di atas $90.000.

Semuanya berjalan wajar hingga pada 2008 krisis keuangan melanda, menghajar keuangan hampir semua orang, tak terkecuali Fuscone. Utang besar dan aset tak likuid membuatnya bangkrut seketika. Singkat cerita, ia divonis pailit pada tahun itu. Rumahnya di Palm Beach disita. Pada tahun 2014 giliran rumah mewahnya di Greenwich ikut disita.

Baca juga: The Psychology of Money

Si Mental Kaya
Jalan cerita Ronald James Read jauh berbeda dengan Richard Fuscone. Read menjadi orang pertama di kelurganya yang lulus SMA. Namun fakta itu tidak begitu penting. Dan dia bukanlah orang yang istimewa. Kehidupannya sungguh sangat bersahaja. Saking bersahajanya, seorang teman dekatnya mengenang Read hanya sebagai orang yang punya hobi memotong kayu bakar.

Namun ia termasuk pekerja keras yang jarang mengeluh. Tidak kurang 42 tahun lamanya ia menjalani pekerjaan rendahan, 25 tahun memperbaiki mobil di pom bensin dan 17 tahun menjadi tukang sapu di JCPenney. Dia membeli rumah dengan dua kamar seharga $12.000. Harga yang sangat murah bahkan jika dibandingkan dengan biaya pemeliharaan bulanan rumah Fuscone yang mencapai $90.000. Di rumah itulah Read tinggal bersama istrinya. Sisi melankolisnya, dia ditinggal mati oleh istrinya ketika berumur 50 tahun dan diketahui ia tidak pernah berminat untuk menikah lagi.

Read terbilang berusia lanjut. Ia meninggal dunia dalam usia 94 tahun pada 2014. Tercatat ada 2.813.503 orang Amerika yang meninggal dunia pada tahun yang sama. Namun tidak sampai 4.000 orang yang memiliki harta di atas $8 juta saat meninggal dunia. Read beruntung, dia termasuk di dalamnya.

Di surat wasiatnya, Read yang bersahaja mewariskan tak kurang $2 juta kepada anak-anak tirinya dan $6 juta lebih kepada rumah sakit dan perpustakaan setempat. Total ada $8 juta yang diwariskannya. Jika diasumsikan kurs $1 setara Rp14.000, maka tak kurang Rp112 miliar yang diwariskan laki-laki gaek itu. Orang yang mengenal Read tentu kaget, bertanya-tanya, dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu.?

Morgan Housel memberikan jawaban singkat. Menurutnya tidak ada hal yang spesial. Tidak ada rahasia yang ditutupi. Tak ada kemenangan lotre atau warisan besar yang diterima. Read menabung berapa pun yang bisa ia tabung dan menginvestasikan sebagiannya di saham blue chip. Hanya itu. Sama sekali tidak ada strategi yang canggih.

Baca juga: Cepat Kaya, Pelajari Kaidahnya

Mental Kaya VS Mental Miskin
Ronald James Read, simpul Morgan Housel lebih lanjut adalah orang yang sabar, sedang Richard Fuscone adalah orang tamak. Orang sabar sangat mungkin merasa cukup dengan apa yang dimiliki sedang orang tamak sudah pasti tidak akan pernah merasa cukup. Ia justru gelisah dengan apa yang tidak dimiliki dan pada saat bersamaan ia tidak merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Dari sini sejarah ketamakan bermula.

Untuk memahami mengapa Richard Fuscone dan orang yang semisal dengannya terjebak pada utang, kita tidak perlu belajar mengenai suku bunga dengan semua teorinya. Kita hanya perlu belajar sejarah ketamakan, kegelisahan, dan optimisme. Ketamakankah yang menjerumuskan Fuscone ke jurang kehancuran finansial dan optimismelah yang mendorong Read bersusah payah menabung sen demi sen sembari menginvestasikan sebagiannya ke saham blue chip hingga ketika meninggal dunia ia mewariskan tak kurang $8 juta. Sebuah angka yang sulit diraih, terlebih saat krisis ekonomi melanda.

Share:

Jumat, 28 Juli 2023

THE PSYCHOLOGY OF MONEY



Deskripsi Ringkas Buku
The Psychology Of Money adalah karya Morgan Housel. Pertama kali diterbitkan oleh Harriman House Ltd., Great Britain pada tahun 2020. Buku international bestseller ini telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 26 bahasa dunia. Edisi Bahasa Indonesia sendiri diterbitkan oleh BACA, sebuah Penerbit yang berada di bawah naungan PT. Bentara Aksara Cahaya dengan judul yang sama. Jika kita baca keterangan di halaman deskripsi buku, kita tahu bahwa sampul buku edisi Bahasa Indonesia juga tidak banyak berubah. Paling hanya penyesuaian bahasa saja. Sejak Mei 2021 hingga April 2023 edisi Bahasa Indonesianya telah dicetak 66 kali. Sebuah prestasi yang teramat sulit diraih buku karangan Penulis dalam negeri.

Buku setebal 240 ini mendapat apresiasi juga endorse dari berbagai pihak. Salah seorang di antaranya adalah James Clear, penulis buku Atomic Habits. Insyaallah ke depan kita bakalan review buku tersebut. Clear mencatat bahwa “The Psychology Of Money penuh dengan ide-ide menarik dan kesimpulan yang praktis. Bacaan penting bagi siapa saja yang hendak mengelola uang dengan lebih baik. Semua orang wajib memiliki buku ini.”

Hingga cetakan ke 66, pada April 2023, buku yang diterjemahkan oleh Zia Anshor ini dipatok di kisaran harga Rp 85.000. Itu belum termasuk diskon. Jika beruntung Anda bisa mendapatkan potongan harga hingga 20%. Bahkan ada market place yang menjual hanya Rp 19.000. Tapi perlu dicatat, itu pasti buku bajakan. Kualitas cetakannya tidak akan pernah sebaik versi original. Dan ingat, dengan membeli buku bajakan berarti Anda secara tidak sadar mendukung pembajakan.

Tentang Penulis
Morgan Housel merupakan partner dari The Collaborative Fund dan mantan kolumnis di The Motley Fool. Di bidang keuangan ia bukan orang sembarangan. Terbukti dia pernah memperoleh penghargaan Best in Business Award dari Sosiety of American Business Editor and Writers sebanyak dua kali. Di samping memenangi New York Times Sidney Award, ia juga pernah menjadi finalis untuk Gerald Loeb Award sebanyak dua kali.




Kecerdasan Finansial
Sebagaimana buku populer lainnya, The Psychology Of Money ditulis dengan gaya bertutur. Membaca buku ini kita seolah diajak ngobrol bareng dalam satu meja oleh Penulis perihal keungan. Bahasanya mengalir. Enak dibaca. Tidak ada istilah-istilah yang rumit. Dan yang paling penting, Housel menyajikan hal-hal yang membuat kita tersentak. Nyaris tidak pernah kita pikirkan. Sederhana tapi mengena.

Ide-ide besar dalam buku ini tidak jarang diulang pada bab-bab lainnya. Namun ini tidak merusak nilai buku. Dan memang itu bukan sesuatu yang aneh. Bisa jadi gagasan itu dipandang penting sehingga perlu diulang-ulang.

Di antara gagasan penting yang dikemukakan Penulis, seperti tampak pada kata pengantar buku adalah mengelola uang dengan baik dan benar tidak memiliki korelasi dengan kecerdasan formal tertentu yang dimiliki seseorang. Dalam banyak kasus, kecakapan ini lebih banyak dipengaruhi oleh perilaku seseorang. Namun ini masalahnya, perilaku sangat sulit diajarkan, bahkan kepada orang-orang dengan predikat sangat cerdas sekalipun. Artinya, seorang yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata sangat mungkin kehilangan kendali atas emosinya sehingga hal itu dapat menjerumuskannya ke bencana keuangan. Sebaliknya, orang biasa atau awwam tanpa pendidikan finansial yang memadai sangat mungkin menjadi orang kaya raya jika mereka memiliki sejumlah keahlian terkait perilaku yang tidak ada hubungannya dengan ukuran kecerdasan finansial tertentu.

Perilaku positif yang ditekankan oleh Housel di antaranya adalah menabung dan menabung. Sedikit demi sedikit. Sen demi sen. Tidak peduli seberapa kecil penghasilan seseorang. Ia harus memaksa diri menabung. Titik. Sesederhana itu teorinya. Karenanya, menabung bukan konsekuensi langsung dari penghasilan yang besar yang hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang dengan pendapatan tertentu. Siapapun bisa menabung. Menabung adalah sikap hidup.

Baca juga: Ulasan Atomic Habits

Pada sisi lain, seseorang harus juga menghindari perilaku negatif yang menjangkiti mayoritas orang dengan tingkat penghasilan di atas rata-rata, yakni konsumif. Terlebih lagi dengan maksud flexing. Sekedar pamer.

Rich Versus Wealth
Penekanan pada penciptaan kebiasaan menabung dan menghindari kebiasaan konsumtif erat kaitannya dengan gagasan mengenai kaya (rich) dan kekayaan (wealth). Konsep ini harus dipahami dengan baik. Salah dalam memahami kedua konsep tersebut berakibat vatal. Keputusan-keputusan yang buruk mengenai pengelolaan keuangan pada umumnya diakibatkan oleh kesalahan dalam memahami kedua konsep tersebut.

Kaya (rich) merujuk ke pendapatan sekarang dan belanja saat ini. Kaya tampak pada mobil mewah yang dimiliki, rumah gedong yang ditempati, pelesir mengelilingi dunia, out fit branded yang dikenakan, smart phone mewah berharga fantastis, dan semua belanja saat ini yang cenderung flexing.

Sementara kekayaan (wealth) adalah kebalikan dari kaya (rich). Ia tersembunyi. Tidak tampak. Persis seperti harta karun, kekayaan adalah pendapatan yang tidak dibelanjakan. Kekayaan adalah pilihan-pilihan yang belum diambil untuk membeli sesuatu kelak di masa yang akan datang. Kekayaan adalah kenikmatan-kenikmatan yang ditunda saat ini demi masa yang akan datang yang tidak menentu. Jadi, kekayaan (wealth) adalah mobil mewah yang tidak dikendarai, rumah gedong yang tidak ditempati, pelesir mengelilingi dunia yang tidak dilakukan, out fit branded yang tidak dikenakan, smart phone mewah berharga fantastis yang tidak dibeli, dan sebagainya.

Titik tekannya terletak pada penciptaan perilaku menabung dan menghindari budaya konsumtif yang cenderung flexing.



Kebahagiaan Finansial
Kebahagiaan finansial memiliki korelasi yang erat dengan kemerdekaan atau kemandirian finansial. Bahkan kebahagiaan finansial bisa jadi merupakan kemerdekaan finansial itu sendiri. Karenanya, Housel menegaskan bahwa bentuk kekayaan tertinggi adalah kemampuan bangun pada suatu pagi dan berkata, “Saya bisa melakukan apa saja yang saya inginkan pagi ini.” Artinya, tidak ada sesuatu yang mengikat secara formal sehingga mencederai kemerdekaan.

Kemampuan berbuat apa saja yang diinginkan, kapan saja, di mana saja, dengan siapa saja yang diinginkan, selama itu bisa kita lakukan, sungguh tak ternilai harganya. Inilah dividen tertinggi yang dapat diberikan uang. Inilah kebahagiaan universal itu, bahwa orang ingin memegang kendali atas hidupnya dan bukan berada di bawah pengendalian orang lain.



Jangan Sepelekan Momentum
Pada tahun 2006, dua pakar ekonomi dari National Bureau of Economic Research, Ulrike Malmendier dan Stefan Nagel menggali data 50 tahun yang dimiliki Survey of Consumer Finance. Fokus kajiannya pada apa yang orang-orang Amerika lakukan dengan uang mereka.

Secara teoritis, setiap individu diasumsikan membuat keputusan investasi yang didasarkan pada tujuan dan ciri-ciri pilihan investasi yang tersedia bagi mereka saat itu. Dalam arti ada hitungan matematisnya. Ada tujuan-tujuan khusus yang ditarget.

Namun faktanya, bukan itu yang terjadi. Keputusan investasi orang sepanjang hidupnya ternyata berkaitan erat dengan pengalaman para investor di generasinya, utamanya pengalaman pada awal masa dewasa. Artinya, momentum punya peran penting. Kecerdasan, pendidikan, akses, dan kecanggihan membaca pasar hampir pasti tidak punya peran signifikan. Dalam banyak kasus, faktor nasib serta di mana dan kapan seseorang lahir sangat mungkin menjadi faktor utama kesuksesan finansial. Tentu saja resep ini juga berlaku pada bidang-bidang lainnya.

Pada 2019 Financial Times berkesempatan mewawancarai Bill Gross, seorang manajer obligasi kawakan. Financial Times mencatat pengakuan Gross yang mengejutkan bahwa dia barangkali tidak akan pernah berada pada posisi puncak seperti saat ini andai saja dia dilahirkan satu dasawarsa lebih awal atau lebih belakangan. Karir Gross bersamaan dengan kejatuhan suku bunga selama satu generasi lebih yang mendorong nilai obligasi. Hal ini bukan hanya mempengaruhi kesempatan yang didapatkan, melainkan juga mempengaruhi apa yang dipikirkan mengenai kesempatan itu saat hadir di depan mata. Bagi Gross, obligasi merupakan mesin pembuat kekayaan. Berbeda dengan generasi ayahnya yang tumbuh bersama inflasi yang membumbung tinggi, di mana obligasi justru dipandang sebagai alat pembakar kekayaan.

Kisah Bill Gates adalah kisah lainnya tentang betapa momentum itu punya andil besar. Lepas dari kerja keras dan ketekunannya, kesuksesannya membangun Microsoft tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa ia bersekolah di Lakeside School, salah satu dari segelintir SMA yang secara kebetulan memiliki komputer. Di SMA itulah bersama Paul Allen ia dengan bebas menyalurkan kreativitasnya untuk mengotak-atik komputer tersebut hingga larut malam. Hanya dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka berdua menjadi ahli kompoter. Kelak Gates mengakui keberuntungannya, “Jika saja tidak ada Lakeside School, tak bakalan ada Microsoft.”

Keberuntungan dan risiko merupakan dua realitas yang menjelaskan bahwa tiap-tiap hasil dalam hidup dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan selain upaya serius individual. Keduanya sangatlah mirip sehingga kita tidak bisa mempercayai salah satunya tanpa menghormati yang lainnya. Keduanya terjadi karena dunia sangat kompleks untuk mengabulkan 100% perbuatan kita pasti akan menentukan 100% hasil. Keduanya didorong oleh satu hal yang sama bahwa kita merupakan satu orang dalam suatu permainan yang melibatkan miliaran orang lainnya dan banyak sekali bagian yang bergerak dinamis. Dampak tindakan kebetulan di luar kendali kita bisa saja lebih dominan daripada tindakan sengaja yang kita lakukan.

Baca juga: Rahasia kaya yang harus Anda ketahui

Jika Anda merasa ulasan ini penting, silakan bagikan ke orang-orang yang Anda sayangi. Jangan lupa berikan komentar terbaikmu.

Salam Literasi....
Reviewer: Rusdan, bukan siapa-siapa

Share:

neracabuku.blogspot.com